SURABAYA- Masyarakat Indonesia telah diramaikan dengan aksi heroik seorang wanita bernama Rara yang berprofesi sebagai pawang hujan saat perhelatan MotoGP di Sirkuit Mandalika. Aksi tersebut pun kian ramai di perbincangkan oleh publik bahkan terekspos ke dunia internasional. Di masyarakat Indonesia sendiri, istilah pawang hujan merupakan nobel seseorang yang mempunyai ilmu-ilmu tertentu yang bisa mengendalikan cuaca buruk seperti halnya datangnya hujan. Fenomena pawang hujan bukan suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Pawang hujan sudah ada dan digunakan oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Sebagian masyarakat percaya bahwa turunnya hujan merupakan pertanda datangnya sebuah rezeki akan tetapi dalam situasi tertentu datangnya hujan terkadang justru dihentikan oleh seseorang yang disebut pawang hujan. Hal yang harus dipersyaratkan dalam ritual pemindahan hujan yang dilakukan oleh pawang hujan ini merupakan proses yang penting karena telah didasari yang telah ada dari zaman nenek moyang terdahulu. Adapun yang dipersyaratkan yakni; Cabe merah, fungsi dari cabe ini dalam ritual cabe ini dianalogikan sebagai sesuatu hal yang panas saat ritual sedang dilakukan, Garam kasar yang diletakan di pinggir halaman atau tempat yang digunakan saat ritual sedang berlangsung dan tidak boleh terkena air, dan paku, fungsi dari paku untuk ditancapkan di setiap titik yang diberi mantra oleh pawang hujan, yang diibaratkan untuk penangkal hal-hal yang buruk saat ritual dilakukan.
   Pawang hujan dipercaya sebagai upaya dalam pengendalian cuaca, dalam kegiatan yang banyak dilakukan di luar ruangan seperti ajang MotoGP di Mandalika, yang menimbulkan rasa kekhawatiran yang tinggi terhadap kondisi cuaca yang buruk. Perhelatan ajang MotoGp di Indonesia pada saat itu turunnya hujan dan cuaca buruk yang terjadi. Peran pawang hujan menentukan kesuksesan dan kelancaran acara tersebut, supaya cuaca buruk bisa terkendali. Dalam pengendalian, pawang hujan tidak memiliki ilmu khusus melainkan dengan merasakan arah mata angin serta pergeseran awan kearah mana dan semua hal itu harus dirasakan dengan menggunakan batin naluriah dan konsentrasi serta ketenangan dalam proses ritual.Tetapi jika dibahas dengan perspektif filsafat yang membimbing cara berfikir dengan akal sehat yang bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi suatu fenomena, pawang hujan termasuk hal yang sulit dicari kebenarannya karena hanya orang - orang tertentu yang memiliki kelebihan menghentikan hujan atau memindahkan hujan. Sebagian orang mempercayai bahwa kelebihan memindahkan atau menghentikan hujan merupakan turunan dari nenek moyang dan ada penerusnya.
   Tetapi hal ini juga masuk akal karena masyarakat Indonesia masih mengakui keberadaan akulturasi sehingga hal - hal seperti pawang hujan sebenarnya sudah hal yang lumrah khususnya masyarakat Jawa. Namun pastinya ada sebagian orang juga yang sama sekali tidak mempercayai cara kerja pawang hujan karena jika dipikir secara logika, hanya dengan menancapkan paku, dibacakan sebuah mantra dan merasakan arah angin dengan batin naluriah yang kemudian dapat mengendalikan cuaca, sedikit tidak masuk akal karena tidak semua orang bisa menjadi pawang hujan. Jadi jika ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan pun tidak bisa karena pawang hujan tersebut pasti menjelaskan proses memindahkan atau menghentikan hujan merupakan kelebihan dan anugerah turun temurun dari nenek moyang. pertanyaannya, apa fungsi BMKG sebagai Badan Pemerintah yang berkecimpung dalam hal cuaca sehari - hari, tapi ada beberapa keadaan juga bahwa prediksi BMKG bisa jadi meleset karena cuaca yang tiba - tiba berubah dari prediksi sebelumnya atau hal ini ada hubungannya dengan fenomena pawang hujan sehingga prediksi BMKG dapat meleset?, hal ini juga masih menjadi pertanyaan. Pawang hujan yang memindahkan hujan dari satu wilayah ke wilayah lainnya yang telah diprediksi BMKG bahwa akan cerah tiba - tiba hujan deras, apakah hal ini saling berhubungan?. Belum ada penelitian tentang hal ini, sehingga jika dipikir secara filsafat kritis pawang hujan sangat tidak masuk dalam akal sehat tetapi juga belum dapat dibuktikan dengan sebuah penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan bagaimana ritual pawang hujan dalam memindahkan hujan atau menghentikan hujan.
  Peristiwa tersebut juga menggiring opini negatif maupun positif dari kalangan masyarakat. Dari sisi negatif, kebanyakan dari mereka berpikir bahwa hal tersebut merupakan hal yang memalukan untuk diperlihatkan di ajang dunia, terutama pada ajang MotoGP kali ini. Mereka beropini bahwa hal tersebut merupakan hal yang tidak wajar dan tidak dapat masuk di akal, sehingga memalukan negara Indonesia di mata dunia. Namun beberapa orang juga beranggapan bahwa hal tersebut juga dapat melestarikan tradisi dan budaya kita. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa apakah fenomena tersebut benar adanya atau hanya kebetulan belaka. Kita juga tidak bisa menggiring opini masyarakat karena kurang adanya bukti tentang apakah pawang hujan berfungsi dengan semestinya atau tradisi yang tidak perlu dilestarikan. Sehingga diharapkan untuk kedepannya agar lebih banyak lagi penelitian yang mengambil tema ini dan bertujuan untuk menggiring opini yang benar dari kalangan masyarakat agar tidak terjebak di opini yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H