Minggu-minggu ini media sangat disibukkan oleh budaya kekerasan yang dipertontonkan sebagian oknum yang katanya dari “militer” (itu menurut sebagian pengamat). Namun bukan hanya kekerasan yang dilakukan oleh oknum tersebut yang terjadi di minggu ini, ternyata masyarakat pun melakukan tindakan kekerasan pada aparat, dan kekerasannya menjurus ke perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting).
Masih segar diingatan kita tentang kejadian pada hari Sabtu (23/3/13) di LP CebonganSleman DIY. Sebuah penyerangan yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang menewaskan 4 orang korban, diantaranya Dicky Sahetapy, Dedi, Aldi, dan Johan yg merupakan pelaku tersangka penusukan anggota TNI AD di cafe Hugos jalan Solo Maguwoharjo Sleman DIY.
Belum tuntas siapa tersangka pelaku penembakan di LP Cebongan, kini muncul lagi satu kasus yang menghebohkan di Sumatera Utara. Pada hari Rabu (27/3) sebuah penggerebekan di rumah penulis judi togel di Dusun Rajanihuta, Nagori Dolok Saribu, Kecamatan Dolok Pardamean.
Penggerebekan dilakukan oleh 4 orang polisi yakni AKP Andar Siahaan (Kapolsek Pardamean), Iptu Armadi Simbolon (Ka. Reskrim Polsek Pardamean), Brigadir Leonardo Sidauruk, dan Bripka Lamsar Samosir, keempatnya malah diteriaki maling oleh istri penulis judi togel hingga membuat kepanikan warga dan menyerang para polisi tersebut. Nahasnya Kapolsek Dolok Pardamean menjadi korban amuk massa warga Dolok Saribu.
Ketertiban yang dipertanyakan
Kekerasan di Republik ini seperti hal yang lumrah saja, terkadang hukum pun tak mampu lagi memberikan ketertiban baik di dalam maupun di luar tembok (penjara). Dimana eksistensi kita sebagai Negara Hukum (rechstaat) yang dijadikan komando dalam sebuah jagat ketertiban. Bukankah salah satu fungsi kita berhukum untuk mencapai ketertiban?, tapi sangat miris ketika kita melihat realitas yang terjadi!.
Sebuah catatan dari alm. Prof. Achmad Ali (Guru Besar UNHAS), yang bertemakan “Hukum dan Ketertiban”. Beliau sedikit bercerita tentang sebuah perkampungan yang bernama nudist (kaum telanjang), dimana puluhan orang bertelanjang bulat tanpa busana berkeliaran mondar-mandir. Semuanya tertib dan tidak ada kekacauan di sana, kaum telanjang tersebut menikmati ketelanjangan mereka dengan rasa puas. Pokoknya “ketertiban” disana terjamin.
Catatan diatas ini bisa kita jadikan asumsi bahwa ternyata, orang nudist yang kita anggap orang yang tidak berrmoral dengan bertelanjang tanpa busana apapun, berlari kesana kemari mempertontonkan seluruh tubuhnya ternyata “lebih tertib” ketimbang orang yang merasa dirinyabermoral dengan menutupi tubuhnya dengan kedok “kekerasan” yang menyelimutinya.
Ketertiban Sebuah Tujuan Berhukum yang Baik
Saat ini kekerasan menjadi sebuah fenomena sosial yang tidak hanya melukai hati para masyarakatnya, suatu masyarakat yang mendambakan kedamaian. Namun juga telah melukai cita-cita luhur pendiri Bangsa kita. Betul lah apa yang telah di sampaikan mendiang para kolonial yang dulunya menjajah kita, kurang lebih mengatakan bahwa setelah kita merdeka maka di antara kalian lah yang nantinya akan saling bermusuhan. Inikah Indonesia yang kita inginkan?
Masyarakat dan sebuah ketertiban mempunyai sebuah makna korelatif yang saling berkaitan satu sama lain. Ada masyarakat mesti harus ada ketertiban, begitupun sebaliknya ketika ketertiban hadir tentunya tak terlepas dari peran serta masyarakat. Namun yang mesti perlu diingat bahwa lembaga hukum yang menjadi patokan wujud sebuah ketertiban tidaklah berjalan dengan sendirinya, mesti mengingat adanya lembaga adat yang hidup di masyarakat dengan saham norma-norma kebiasaannya (culture norm).