Mohon tunggu...
Sunardi Purwanda
Sunardi Purwanda Mohon Tunggu... -

Saat ini sedang belajar di Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hidup dan Berjuang – Bag. IX (Harus di Kemotherapi)

26 Maret 2013   19:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:10 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Embun pagi mulai membasahi rerumputan, menambah panjang dinginnya fajar yang diguyur hujan seperempat malam. Ayam-ayam mulai bersahutan memperdengarkan suaranya, saling balas-membalas membuat riuh suasana pagi ini.

Hari ini pertemuan para anggota akan berlangsung, membahas permasalahan yang terjadi. Semua undangan telah terkirim, dan semua anggota telah bersiap untuk hadir dalam pertemuan besar tersebut.

Suasana asrama pusat pagi ini begitu sibuk, untuk mempersiapkan pertemuan sebentar sore. Pertemuan dijadwalkan pukul 16.00 sore, sambil menunggu semua anggota yang masih mempunyai tugas lab di kampus masing-masing. Pada pertemuan ini akan dipimpin langsung oleh para anggota dewan, dan turut hadir seluruh ketua asrama dan seluruh pengurus lembaga.

Terdengar suara tarikan kursi di lantai, berdecit nyaring membumbung tinggi melalui atap-atap aula asrama. Meja-meja besar disusun menyerupai bentuk persegi empat yang nantinya merupakan bentuk formal pertemuan. Kursi-kursi dijejer rapi dibelakang meja sesuai jumlah anggota yang telah diperkirakan jumlahnya.

Sesekali terdengar canda tawa dari para anggota yang menyusun meja dan kursi. Terlihat pula sebagian lainnya membersihkan lantai dari debu-debu dan kotoran yang ada di aula, dan beberapa orang juga terlihat berdiri memperhatikan dan menginstruksikan serta mengontrol kerja para anggota.

Pertemuan besar, pertemuan yang jarang terjadi. Seberapa besarkah permasalahan ini, betulkah ini adalah awal perpecahan?

***

Sebuah ranjang kamar kelas tigadengan sepuluh kamartidur, delapan terpakai dan duanya terlihat lowong. Sesekali yang kosong itu ditempati oleh para keluarga pasien yang membesuk. Terlihat di ranjang paling belakang sebelah kanan, Yeitermenung memperhatikan botol cairan yang menggelantung di tiang samping tempat tidurnya. Tak ada keluarga, teman, yang menjaganya.

Sesekali mencoba merebahkan punggungnya disandaran ranjang tempatnya tidur, dengan dilapisi bantal dan penuh kehati-hatian menjaga selang yang semoga tidak terlepas dari pergelangan tangannya.

Waktu kini menunjukkan pukul 07.00 pagi, perawat shift malam memasuki ruangan dan mengecek satu persatu kondisi pasien yang ada di kamar tiga. Hasil dari pengecekan kondisi pasien ini nantinya akan dimasukkan dalam sebuah catatan kesehatan pasien atau biasa disebut dengan rekam medik.

Perawat itu kini mendekati Yei, dengan raut muka yang masih lusuh akibat kurang tidur semalam. Senyum bagi seorang perawat harus tetap merekah pagi ini, karena bagaimanapun sebuah senyuman merupakan sugesti yang akan memberikan semangat bagi pasien. Terkadang itu adalah sebuah ramuan mujarab yang ampuh untuk kesembuhan pasien.

“selamat pagi Yei?” sapa perawat dengan sebuah senyum.

“pagi juga sus” balas Yei dengan senyuman manis.

“bagaimana kondisimu Yei?” sahut perawat tersebut sambil mendongakkan wajahnya keatas memperhatikan botol cairan yang sisa seperempat milli.

“sudah agak mendingan sus, eh kapan hasil diagnosaku bisa kuketahui?” tanya Yei dengan penuh antusias.

“mungkin sebentar siang yah Yei, namun tergantung juga berapa pasien yang akan diperiksa pak dokter pagi sampai siang hari ini”

“hmm..!” dengan sedikit termenung Yei hanya bisa bergumam.

“sabar saja yah..!” pesan perawat jaga yang sambil mencatat sesuatu di buku besarnya.

***

Matahari sore kini menyapa dengan silaunya yang sudah mulai agak redup, panasnya cahaya yang dipancarkan siang tadi kini mulai berkurang. Burung-burung camar bergerombolan terbang bersama mulai menukik tajam ke bawah dan bermanuver naik kembali ke angkasa, seperti ada sensor di mata camar yang membuat para camar tidak saling bertubrukan satu sama lain.

Waktu menunjukkan pukul 15.45 sore. Suasana asrama pusat kini terlihat ramai, sekumpulan massa berbondong masuk ke asrama menuju aula. Terlihat suasana begitu bising, sesekali para anggota saling menyapa satu sama lain. Uniknya pertemuan ini seperti mempertemukan kembali kawan lama yang tak pernah lagi bersua sejak lulus dari bangku sekolah.

Aula asrama pusat kini telah ramai, didalam aulaterlihat Ahdi, Fai bersama Ikhsan(ketua asrama 1) dan Harun (ketua asrama 4) beserta para anggotanya telah berada ditempat yang telah disediakan. Diluar aula asrama terlihat Adin (ketua asrama pusat) yang masih terlihat sibuk mengarahkan anggotanya untuk menjemput dan menjamu para tamu asrama lain yang terus berdatangan, maklum asrama pusat kali ini menjadi tuan rumah pertemuan.

Beberapa menit kemudian para pengurus lembaga hadir, bergerombol masuk kedalam asrama dipimpin oleh Rendra yang masih menjabat sebagai Ketua Umum yang aktif. Dibelakangnya menyusul para anggotanya yang pro dengan kepemimpinannya, disekumpulan para pengurus ternyata ada Hendri (ketua asrama 3) yang mendampingi Rendra. Terlihat juga para anggota penghuni asrama 3 yang ikut dalam gerombolan tersebut. Sesampai didepan aula asrama, para gerombolan tersebut dicegat oleh Adin, sambil berbisik ke telinga Rendra menyampaikan bahwa didalam telah berkumpul Ahdi, Fai serta ketua asrama 1 dan 4.

Tak lama berselang para dewan akhirnya datang, mereka bertiga dengan segera memarkirkan kendaraanya di parkiran asrama pusat. Dengan segala persiapan yang matang serta rencana rapat yang telah tersusun rapi mereka bertiga melangkah dengan penuh keyakinan. Harapan mereka bertiga rapat ini sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, dan berharap tak ada satupun konflik yang bisa memicu terjadinya kekacauan yang bisa berujung dihentikannya rapat.

Mereka bertiga dihampiri oleh Adin, Rendra dan Hendri serta para anggota lainnya yang berada di luar aula. Saling menyapa satu sama lain, dan sesekali Wendi yang terlihat garang diantarapara dewan pertimbangan menatap Hendri yang merupakan juniornya dikampus.

Wendi sedikit berpesan kepada Hendri, dengan tatapan mata ke wajah Hendri. “kamu jangan buat masalah di rapat nanti, kamu akan berhadapan denganku apabila kamu menginginkan kekacauan di rapat nanti”

“ohh tidaklah kak, mana mungkin kami dari asrama 3 mau buat onar di rapat nanti, apalagi kami ini melihat kak Wendi di Dewan” ucap Hendri sambil tersenyum ke Wendi.

“kupegang janjimu..!” balas Wendi dengan serius.

Rahmat membuka percakapan pada Adin. “siapa lagi yang belum hadir?”

“sisa Reni kak, ketua asrama 2” jawab Adin.

“dasar anak perempuan, kebanyakan solek jadinya telat terus” cetus Rahmat.

Carla yang mendengar ucapan Rahmat tiba-tiba saja terpancing untuk menginjak kaki Rahmat yang berada disampingnya. “aduuhhhh”

Dengan wajah meringis sedikit kesakitan Rahmat menoleh ke Carla.

“itu balasan bagi orang yang suka mecela perempuan” sahut Carla dengan sedikit jengkel.

Rahmat kali ini hanya tersenyum sambil memegang kepalanya yang tidak gatal.

“sakit yah kak?” Adin mencoba basa-basi ke Rahmat.

“sakitlah tau..” jawab Rahmat sambil melotot ke Adin.

“heheh..” Adin hanya tertawa.

“terus asrama 1 dan 4 sudah hadir?” Carla melanjutkan perbincangan.

“sudah ada didalam Aulaka” jawab Adin sambil menoleh kebelakang.

“kalau begitu biar kita tunggu dulu si Reni, sambil menunggu ayo arahkan semua anggotamu untuk masuk, koq kalian seperti terkotak-kotak sih, ada yang diluar ada yabg didalam..” cetus Carla yang menghentikan percakapan.

***

Siang hari menjelang sore dokter yang ditunggu-tunggu ternyata belum muncul juga diruangan Yei. Kecemasan akan ketidakpastian jawaban yang menggantung sejak siang kemarin, menambah penasaran hati Yei untuk menunggu sebuah jawaban dari dokter yang memeriksanya siang kemarin.

Yei terus memperhatikan botol cairan yang ada di atas kepalanya, sudah botol yang ketiga sejak Yei terbaring lemas diatas ranjang pesakitan. Sesekali mendongakkan wajah dan penglihatannya mengarah ke pintu ruangan, menunggu sosok berbaju putih dengan sebuah stetoskop tergantung dilehernya.

Jam menunjukkan pukul 15.45 sore, dokter yang ditunggu-tunggu dari tadi akhirnya muncul juga. Persis apa yang dibayangkan Yei sejak tadi, dengan sebuah setean jas putih bersih turun sampai kelutut dan stetoskop yang menggantung di lehernya dan didampingi dua orang perawat jaga mengikuti dibelakangnya.

Namun sebelum ke Yei, dokter tersebut mengahampiri seluruh pasien dulu yang berada diruangan 3 Bangsal penyakit dalam tersebut. Setelah semua pasien diperiksa tiba waktunya Yei untuk diperiksa.

Namun ada yang aneh, muka dokter tersebut agak lusuh. Tapi bagi Yei mungkin dokter yang kini menghampirinya tersebut sangatlah lelah memeriksa pasien sejak tadi pagi. Bukan hanya mukanya saja yang terlihat lusuh, namun dua orang perawat yang dari tadi mengikutinya dengan tiba-tiba diarahkannya segera kembali ke ruangannya.

Dokter itu menghampiri Yei, menyapa dengan muka lusuh lalu menarik kursi yang ada dekat ranjang tempat tidur Yei, melepas sedikit peluh lalu mengistirahatkan badannya diatas kursi jaga pasien dan mencoba membuka percakapan dengan Yei.

“sudah menunggu lama yah Yei?” ucap sang dokter yang kini ada disamping Yei.

Yei yang melihat dokter itu tiba-tiba duduk disebelahnya mencoba bangkit dari tidur. Namun sebelum Yei melakukan hal itu, dokter tersebut mencegatnya.

“sudah tak usah bangun, tidur-tiduran saja..!” perintah dokter.

Seketika itu pula Yei mengurungkan niatnya untuk bangun. “iyah dok, sejak tadi siang aku menunggu kabar darimu tentang penyakitku ini”

“sejak kapan kamu mengalami sakit seperti ini..?” tanya sang dokter yang mulai membuka percakapan.

“sejak masih dibangku sekolah dasar dok, awalnya sering mimisan dan terkadang pula muncul lebam-lebam di tubuhku ini tanpa sebab yang pasti, tak pernah jatuh atau tertubruk sesuatu” jawab Yei dengan mengingat masa kecilnya dulu, Yei coba menarik nafas dan melanjutkan ceritanya.

“terkadang pula mengeluarkan keringat pada malam hari, yang disertai nyeri pada tulang dan perut diikuti mual serta kembung. Seiring dengan berjalannya waktu, mukaku terkadang terlihat pucat pasih. Berat badanku sejak masuk sekolah menengah mulai agak merosot padahal konsumsi makanku tetap stabil, dan kondisi tubuhku biasa mengalami kelelahan yang berkepanjangan dok”

“pernah suatu waktu, saat itu masih menginjak sekolah lanjut tingkat pertama. Aku memeriksakan penyakit ini bersama ibuku, dan menurut dokter yang memeriksaku mendiagnosa penyakit ini merupakan gejala Leukimia, ibuku seketika itu sangat tersentak kaget dengan penyakit yang kualami” tambah Yei mengenang semua masa lalunya.

“dok, bagaimana hasil pemeriksaanku kemarin?, ini masih bisa sembuh kan dok?” tanya Yei dengan antusias.

Dokter yang sejak tadi terdiam, terbawa oleh cerita masa lalu Yei seketika itu tersadar akan sebuah pertanyaan.

“hasilnya sudah bisa diketahui Yei, namun untuk sembuh itu tidak bisa kujamin” ucap sang dokter dengan nada suara yang agak direndahkan.

“terus dok, gimana hasilnya..?” balas Yei dengan penuh rasapenasaran.

“ada peningkatan jumlah sel darah putih ditubuhmu saat ini, kamu harus di kemotherapi beberapa minggu kedepan untuk mencegah pertumbuhan sel darah putihmu yang terus meningkat. Selain itu kamu harus yakin dan banyak berdoa kepada Sang Ilahi bahwa sakitmu ini pasti sembuh, sebab dengan begitu kamu ada motivasi untuk terus berupaya menyembuhkan sakitmu ini dan tidak akan pernah menyerah untuk mengalahkan leukemia, Hiduplah dan Terus Berjuang..!” Jawab dokter dengan penuh harapan agar orang yang ada didepannya ini bisa lekas sembuh.

“dua hari kedepan kamu boleh pulang, tapi kamu bakal kujadwalkan waktu untuk kemotherapi. Tiap seminggu sekali kita harus bertemu, mengecek perkembangan dan melihat progres kesembuhanmu. Ini adalah jadwal rutin yang harus kamu patuhi Yei, tak boleh ditawar-tawar. Semakin lama penyakitmu jika tidak cepat ditangani itu bisa membunuhmu” jawab dokter itu sambil tertunduk sesekali mengusap matanya yang terlihat sedikit basah.

“iyah dok…! Loh, dokter nangis yah?” sahut Yei dengan wajah yang penuh perhatian dan sedikit tampak bingung menatap wajah dokter yang mengusap mata kanannya.

“hehe.. aku mengingat adik gadisku yang mungkin kalau dia masih hidup usianya seumuran dengan kamu sekarang Yei.. namun takdir berkehendak lain, dia meninggal saat aku masih semester satu.. dari situlah aku niatkan diriku untuk hidup dan berjuang, berusaha dengan sepenuh hati menyembuhkan orang yang terjangkit penyakit ini.. senyummu itu sama sama Yei, senyummu itu mengingatkanku pada wajah manisnya yang tak kenal kata menyerah pada waktu itu, berbagai macam usaha telah kami lakukan untuk menyembuhkannya, namun sayang senyum manis itu meninggalkan kami sekeluarga”

“Yei kamu harus kuat, kamu harus berjuang untuk sembuh..!” pesan sang dokter sebelum menutup percakapan mereka.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun