“Harus ku selesaikan dari mana dulu?”. Pertanyaan yang seakan tak sabar menunggu jawaban ini, melintas dalam kepalaku ku lagi. Maklum, malam tidak berbintang yang terlihat di langit seperti enggan untuk membantu meringankan bebanku sebagai seorang pelajar. Padahal tugas sekolah masih menumpuk tinggi, setinggi kegelisahanku memikirkan Ayah.
Namun, seperti malam-malam yang telah berlalu akhirnya ku kibarkan bendera putih dan kembali ku menyerah untuk berdebat dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya, masalah dalam hidupku ini semakin dibiarkan malah semakin menjadi. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit dan bukit ini tak bisa ditanami pepohonan supaya menambah kesejukan udaranya. Bukitnya malah terbakar, masalah ku pun menggebu-gebu menebar asap kemalasan untuk bertemu Ayah.
“Jika seseorang mengeluh maka bebannya berlipat menjadi dua!”. Celetuk mulutku tak sadar sambil mengulangi kata yang pernah Ayah ucapkan.
“Itu sebabnya seorang Andrian nggak boleh mengeluh, nanti sifat jelek malasmu bertambah coy!”. Sahut Ilham temanku yang terbaring tiduran di karpet ruangan ekstrakulikuler paskibra. Jari tangannya sibuk menari-nari di atas keywoard ponselnya. Kebetulan malam ini Ilham mengikuti pengajian malam jum’at yang rutin diselenggarakan remaja mesjid sekolahku setiap satu kali dalam seminggu. Tujuannya untuk menambah baik jalinan silahturahmi antar pelajar. Dan mendukung visi misi sekolah dalam membentuk pelajar yang taat berlandaskan iman serta taqwa.
Jarum hitam pendek dari jam dinding yang sedikit berdebu kacanya terpasang di atas jendela tanpa kain penutup sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Sekarang tatapanku begitu tajam melihatnya. Kemudian, segera tanganku merogoh kantong celanaku. Aku bernapas lega ketika tanganku yang susah payah ingin keluar, akhirnya keluar dan menggenggam ponsel dan napasku kembali bernapas lega untuk kedua kalinya ternyata kapasitas baterai ponselku masih tersisa banyak.
“Ciee. Andrian si jomblo dapet sms dari cewek yah?”. Suara menyebalkan Ilham berkumandang merusak gendang telingaku.
“Ehm”. Balas ku singkat.
“Atau dapet sms dari cowok? Hahaha”
“Ah! Pusing! Bener-bener susah!”. Bentakku tinggi menghiraukan Ilham. Dan buku catatanku menjadi pelampiasan resahku. Secepat kilat menyambar, ku lemparkan buku itu ke dinding. Sehingga, suara hentakannya memecah belah keheningan malam.
“Ian?”. Nada suara Ilham tidak lagi terdengar menyebalkan. Malah mendekati suara ketakutan. Ia letakkan ponselnya. Mungkin, ia kira aku kerasukan hantu. Akhirnya aku merasa puas karena telah berhasil menjauhkan Ilham dari ponselnya itu.
“Hehehe. Nggak kok Ham. Aku cuma takut sama cicak yang ngerayap di dinding itu. Takut cicaknya berubah jadi buaya. Makanya aku usir pake bukuku”.
“Hah. Garing ? Nggak lucu tau! ”
“Cius mi apa?”. Balasku bercanda
“Kamu kenapa sih Ian?”.
Ku ambil sebuah gitar pinjaman yang tergeletak di atas ransel hitam sekolahku.
“Kamu mau latihan buat ujian praktek kesenian besok ?”
Ku simpan rapih gitar di sebelah ranselku. Ilham mengangguk-angguk seakan telah tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. Ku buka ranselku yang sedikit lusuh ini. Tanganku sibuk mengaduk-ngaduk isinya dan akhirnya ku ambil sebuah kitab suci Al-Qur’an berwarna coklat yang dulu diberikan Ayahku sebagai hadiah ulang tahunku.
“Apakah aku harus memulainya dengan melihat ini?”. Ku bertanya kepada diriku. Di halaman yang menjadi batas antara ayat yang sudah kubaca dan belum ku baca terselipkan sebuah kertas usang. Kertas itu ialah foto Ibuku, Ayahku, dan aku.
“Itu kamu masih kecil yah? Itu Ayahmu ? Dan Ibumu ternyata sangat cantik ?”
“Yah. Ini foto keluargaku sewaktu Ibu melahirkanku. Dia memang cantik. Sangat cantik. Tapi sayang, aku sama seperti mu Ham. Hanya bisa melihat kecantikannya lewat kertas ini saja. Ibuku meninggal ketika usiaku satu tahun”.
“Kamu jangan sediah Ian”. Ilham mencoba menghiburku.
“Sedihku bukan karena Ibu melainkan tentang Ayahku. Aku bertengkar hebat dengannya tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah”.
“Kenapa?”
“Karena ku tidak setuju Ayah kembali bekerja sebagai preman di pasar. Dan sekarang aku takut untuk pulang. Bertemu kemurkaan Ayah itu sangat mengerikan”.Ku jelaskan peristiwa itu kepada Ilham. Malampun bertambah larut. Hujan rintik mulai turun diluar sana. Suara tetesan airnya seperti mengiringiku bercerita.
Kini ku selipkan kembali foto ini disela-sela lembaran Al-Qur’an sebelum ku masukkan kitab ini ke dalam ransel. Kemudian, ku ambil buku yang tadi dilemparkan. Namun, aku sangat terhentak kaget ketika melihat jam di dinding sudah menunjukkan bahwa waktu menjelang pukul 01.00 WIB. Dengan tergesa-gesa ku mulai menggarap cerita pendek dengan balpenku. Besok hari terakhir pengumpulan lomba menulis cerita pendek. Ilham juga ikut-ikutan, dia tergesa-gesa mencari ponselnya. Dan akhirnya memilih untuk melanjutkan tidur setelah membalas tiga belas pesan yang mengantri.
Bel masuk kelas sudah berbunyi tiga kali menandakan jam pembelajaran telah datang. Aku sengaja masih duduk di kantin menikmati gorengan hangat. Kebetulan hari ini kelasku mendapatkan jadwal masuk siang. Dan cerita pendekku sudah selesai. Hanya menunggu pukul 07.30 WIB untuk mengumpulkannya.
Ku melihat beberapa tulisan penting di bukuku. Ada tulisan tentang nominal tunggakan iuran, tanggal lahir Ayahku, jadwal perlombaan menulis cerita pendek, dan jadwal ujian di sekolah. Beberapa tulisan ku berikan garis bawah.
“Ian cepat ke ruang paskibra! Barang-barangmu...”. Teriak Ilham mengagetkan dari kejauhan.
“Barang-barangku kenapa?”. Tanyaku menyela Ilham.
“Operasi bersih hari Jum’at !”
Akhirnya aku mengerti. Kegiatan pertama sebelum belajar di hari jum’at adalah operasi bersih. Membersihkan lingkungan sekolah. Termasuk ruangan ekstrakulikuler. Dan aku teringat kertas-kertas cerita pendekku belum aku rapihkan. Bisa saja orang-orang paskibra menggapnya sampah dan membuangnya. Atau menggunakannya sebagai pembersih kaca jendela. Ah bisa gagal rencanaku untuk menjadi juara. Tunggakan iuranku tidak akan terbayar. Uang pembinaan untuk membeli kado ulang tahun Ayahku juga bisa terancam. Dan mungkin Ayah takkan tercegah untuk tidak menjadi preman lagi.
Aku berlari menuju ruangan paskibra. Dan khyalanku tadi menjadi kenyataan. Ruangan ini sudah bersih. Hasil keringatku tadi malam pun lenyap. Napasku masih berhembus cepat. Semuanya telah gagal.
Selesai sembahyang ashar aku pulang. Sepanjang jalan bayangan Ayah yang sedang marah terus menemani langkahku. Debaran jantungku tak berhenti mengalirkan rasa waswas. Hari ini sangat menyiksaku. Seandainya aku punya Ibu ya Allah ?
“Assalamu’alaikum!” ucapanku sedikit bergetar.
Terlihat sesosok lelaki dengan cangkir besar di tangannya membuka pintu. Matanya tepat menatap wajahku. Aku tak berdaya untuk melihatnya lebih lama. Ku tundukkan kepalaku seakan bersiap menerima pukulan cangkir Ayah. Aku menyadari telah melakukan kesalahan. Minggat selama satu malam tanpa izin terlebih dahulu. Padahal itu juga untuk kebaikanku dan Ayah.
“Plak!!!” Suara pecah cangkir Ayah yang terjatuh dari tangannya.
Ayah memeluk erat tubuhku. Jantungku berdebar kencang. Dan semakin berdebar ketika Ayah berkata.”Nak, Jika seseorang mengeluh maka bebannya berlipat menjadi dua. Dan Ayah tidak pernah mengeluh kehilangan Ibumu. Karena Ayah tak mau kehilanganmu Nak! Maafkan Ayah atas pertengkaran kemarin”.
“Aku juga minta maaf Ayah, telah salah menilai Ayah”. Aku menangis karena semua prasangkaku melenceng. Ya Allah terima kasih Engkau masih meninggalkan Ayah untukku. Ayah yang menjadi tujuan hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H