Cuplikan cerpen saya yang berjudul Seruni dalam antologi cerpen “Setiap anak Terlahir Istimewa” Untuk kali yang pertama aku melihat batu nisan Seruni. Sama sekali tak kukenali dia sebelum ini. Memang, kedatanganku ke Lawang bukan untuk pergi ke tempat pemakaman ini, lebih-lebih untuk mengunjungi makam Seruni. Sengaja aku pergi ke kota kecil ini untuk survey tempat pelatihan, sebuah vila tua yang asri di sudut kota. Kebetulan pemiliknya ada bersamaku sekarang. Kutemani dia mengunjungi makam anaknya, Seruni. Hanya dua kali bertemu, bukan menjadi alasan kami untuk canggung. Justru perkenalan yang tak terduga ini menjadikan kami akrab. Mungkin karena kami aktif di yayasan yang sama. Mungkin juga, karena kami mengagumi orang yang sama, Bung Karno. Atau karena kami memiliki latar belakang yang sama, kami sama-sama menekuni bidang kedokteran. Mungkin beberapa persaman itu yang bisa membuat kami merasa akrab. Lagi pula, wanita yang usianya sudah paruh baya ini, memiliki pengetahuan umum yang luas, termasuk tentang kebiasaan anak muda, jadi bersamanya aku tidak merasa memiliki jurang pemisah yang jauh. “Saya terlalu sibuk dengan urusan saya, saya sudah lama tidak mengunjunginya,” dia membuka pembicaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H