Mungkin bagi kawan-kawan mahasiswa baru Universitas Brawijaya belum begitu mengenal sosok yang satu ini. Jangankan mahasiswa baru, bagi kawan-kawan mahasiswa yang sudah kuliah cukup lama kuliah disinipun juga masih banyak yang belum begitu mengenalnya. Sangatlah wajar jika demikian, karena memang selama ini tidak ada upaya pelurusan sejarah dari pihak kampus .Lebih ironis lagi, tiap Dies Natalis Universitas kawan-kawan mahasiswa lebih akrab dengan kembang api dan konser musik yang memakan uang ratusan juta daripada sejarah kampus ini. Sudah saatnya kita menolak untuk lupa. Seperti kata Soekarno, “ JAS MERAH” , Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Untuk itusaya akan mengulas sedikit mengenai sosok NASIONALIS yang berjasa besar bagi berdirinya kampus ini. Dialah Doel Arnowo.
Masa Muda dan Persahabatan dengan Soekarno
Doel Arnowo lahir di kota Surabaya pada tanggal 30 Oktober 1904 dengan nama asli Abdoel Adhiem. Ayahnya adalah seorang mandor pabrik gula bernama Arnowo. Jika kita berkunjung ke daerah Genteng – Surabaya kita pasti akan menemukan sebuah gang yang diberi nama Gang Arnowo. Dinamakan demikian karena ayah dari Doel Arnowo adalah salah satu tokoh masyarakat yang dikenal di daerah tersebut.
Doel Arnowo dikenal dengan sebutan Cak Doel. Persahabatannya dengan Soekarno diawali sejak Soekarno belajar di Hogere Burgerlijks School (HBS) Surabaya dan menjadi santri di rumah HOS Cokroaminoto, di Jalan Plampitan Surabaya ( sekarang Jalan Ahmad Djais ) yang merupakan seorang tokoh Sarekat Islam. Di rumah HOS Cokroaminoto, Koesno Sosrodihardjo (nama asli Soekarno) tinggal bersama tokoh nasional lainya antara lain Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Tan Malaka, Semaun, Muso dan Alimin. Konon, Doel Arnowo sering menghabiskan waktu bersama Soekarno nyangkruk di Jembatan Genteng -Plampitan. Disana mereka berdiskusi , bertukar pendapat mengenai kondisi bangsa hingga obrolan ringan seputar wanita. Disinilah awal mulanya jati diri mereka berdua ditemukan dan disinilah mereka berdua merumuskan tujuan untuk kemajuan bangsa ini.
Pertempuran 10 November
Peran Doel Arnowo dalam pertempuran 10 November cukup vital, baik secara langsung menghadapi Inggris dan sekutunya,maupun saat perundingan.Dalam pertempuran ini , Doel Arnowo bertugas sebagai penghubung Surabaya dengan pihak Jakarta. Sebab, Menteri Luar Negeri RI saat itu, Ahmad Soebardjo, adalah teman akrab Doel. Tempat kelahiran keduanya hanya terpisahkan oleh Sungai Genteng. Doel Arnowo berasal dari Genteng, sedangkan Roeslan dari Plampitan.
Ketika Surabaya sudah bersepakat menolak ultimatum Inggris pada 9 November 1945, Doel diamanati melapor ke pusat. Jawaban dari Jakarta awalnya adalah “menunggu”, yang pada akhirnya dijawab “Terserah Surabaya!”. Dan pada saat itulah Doel Arnowo bersama Soemarsono ( Pimpinan Pemuda Rakyat Indonesia ) berjuang bersama mempertahankan kota Surabaya dengan semboyan, “ Merdeka atau Mati!”
Perjuangan Pasca Kemerdekaan
Sebelum menjabat sebagai Walikota Surabaya ( 1950 – 1952 ) , Doel Arnowo merupakan Wakil Gubernur Jawa Timur di masa kepemimpinan Gubernur Moerdjani ( 1947 – 1949 ) .Pada saat agresi militer Belanda ( 1948 – 1949 ) yang berusaha membentuk negara boneka di wilayah Indonesia, Doel Arnowo bersama Moerdjani bergerilya menjalankan pemerintahan di Blitar dari lereng Gunung Wilis. Mereka berdua akhirnya tertangkap oleh patroli Belanda di lereng Gunung Wilis pada tahun 1949. Setelah tertangkap, akhirnya mereka dipenjarakan di Hotel Majapahit Surabaya hingga berakhirnya agresi militer Belanda.
Setelah berakhirnya agresi militer Belanda, pada tahun 1950 Doel Arnowo diangkat sebagai walikota Surabaya. Selama menjadi Walikota Surabaya banyak ide yang digagasnya salah satunya adalah memprakarsai pembangunan Tugu Pahlawan sebagi penghormatan pertempuran 10 November. Ide tersebut disambut baik oleh Presiden Soekarno yang juga merupakan teman kecilnya.Monumen yang dibangun selama sepuluh bulan ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 Nopember 1952.
Penegrian Universitas Brawijaya
Pada tanggal 5 Januari 1963, Universitas Brawijaya dengan seluruh fakultasnya dinegerikan dengan Keputusan Menteri PTIP Nomor 1 tahun 1963. Fakultas Pertanian serta Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan yang semula berada di bawah naungan Universitas Airlangga dikembalikan ke Universitas Brawijaya. Selain itu diresmikan pula cabang-cabang Universitas Brawijaya di Jember, yaitu Fakultas Pertanian, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Fakultas Kedokteran. Cabang di Jember ini semula adalah fakultas-fakultas dari Universitas Tawangalaun.
Dalam proses penegrian tersebut terdapat salah seorang tokoh yang memiliki andil besar didalamnya. Dialah Doel Arnowo, Presiden ( Rektor ) pertama Universitas Brawijaya dari tahun 1963 hingga tahun 1966. Beliaulah salah seorang yang tidak kenal lelah mendesak pemerintah untuk menegrikan Universitas Brawijaya. Untuk menarik perhatian Presiden Soekarno, Doel Arnowo menggunakan cara yang tidak umum. Beliau menyampaikan pesan untuk menegrikan Universitas Brawijaya melalui kesenian Ludruk.
Doel Arnowo sengajamembawa rombongan ludruk Marhaen untuk main di Istana Negara. Pagelaran ludruk tersebut disaksikanoleh para pejabat tinggi negara, termasuk Presiden Soekarno, dan para Korps Diplomatik. Sebelim rombongan ludruk Marhaen tampil, Doel Arnowo sudah menginstruksikan pada rombongan ludruk tersebut untuk menyisipkan pesan didalamnya sehingga terlontar sebuah dialoh yaitu:
A: Jare anakmu kuliah nduk Malang? (Katanya anakmu kuliah di Malang)
B:Iya, nduk nggone UNBRA, (Ya, di UNBRA)
A: Lha kenek apa kok gak mari-mari? ( Kenapa nggk selesai juga)
B: Lha wong gak ndang dinegrekna (Habis, nggak cepat dinegrikan)
A: Lha kenek apa kok gak ndang dinegrekna ? (Kenapa nggak cepat dinegerikan)
B: Gak kober be’e. (Nggak sempat kali)
Setelah menyaksikan adegan tersebut Presiden Soekarno langsung menegur Sartono dan Menko Kesejahteraan Rakyat Moeljadi Djojomartono yang selanjutnya meneruskan teguran itu kepada Menteri PTIP Toyib Hadiwijaya dan keluarlah SK Menteri PTIP No. 1 tahun 1963 pada tanggal 5 Januari 1963.
Selama hidupnya, Doel Arnowo sudah banyak mencurahkan ide hingga materinya untuk bangsa ini.Beliau sudah mengalami banyak pertempuran mulai dari perjuangan fisik hingga pemikiran.Hingga akhirnya beliau wafat pada tanggal 18 Januari 1985 di Surabaya. Namun sebelum beliau meninggal, beliau pernah berpesan menanggapi masalah regenerasi bangsa di tahun 1980an yang isinya seperti ini:
“Apakah lunturnya semangat nasionalisme dan Marhaenisme itu terjadi karena kehilangan Bung Karno sebagai bapak dan pengobar semangat? Mungkin juga ia terjadi karena itu. Tetapi kalau kita bersikap demikian—semangat itu hanya ada selama sang Bapak ada—tentunya sudah terjadi kultus individu.
Dalam hal memahami ajaran dan cita-citanya, jangan sampai ada kultus individu, agar ia tetap ada dan tak pernah luntur. Jangan hanya terpancang pada Bung Karno, tapi sadari tujuan perjuangan yang sesungguhnya. Lembaga-lembaga pendidikan yang hendak didirikan Pembangunan Nasionalisme Indonesia nanti, mudah-mudahan dapat menggantikan peranan "pengobar semangat" itu.Dalam menanggapi suara anak muda dewasa ini, kita juga sering keliru. Dengarkan apa yang mereka katakan, beri mereka kesempatan bicara, karena dia adalah orang-orang "masa datang."
Demikianlah yang dapat saya ceritikan sebagai upaya saya menolak lupa. Sekali lagi JAS MERAH - JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH.
INGAT BUNG!!! INI KAMPUS NASIONALIS!!!
MERDEKA!!
Gmni JAYA!
MARHAEN MENANG!!
PEJUANG-PEMIKIR, PEMIKIR-PEJUANG
By: Andar Kaneka Putra Bintara ( andar.kaneka@yahoo.co.id )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H