Bahkan ada beberapa media daring yang sangat gamblang menunjukan bahwa sumber informasi artikel mereka adalah dari sosial media yang juga menaruh keterangan dalam postingannya "info valid menyusul".
Lalu siapakah yang patut disalahkan atas kondisi ini? Mungkin sebagian lantang menuduh bahwa media tersebutlah yang salah karena memberikan berita informasi dengan judul clickbait yang menarik perhatian dan tak jarang terjadi ketidaksesuaian antara isi dan judul yang boombastis serta validitas sumber informasi tersebut.
Tuduhan ini sebenarnya cukup rasional ketika industri media yang ada saat ini sebagian lebih cenderung menjadikan berita sebagai komoditi yang mendatangkan keuntungan bagi sebuah industri.
Namun sialnya, media sebagai sumber informasi yang kerjanya mengikuti kode etik jurnalistik justru mengesampingkan esensi dari media itu sendiri dan memfokuskan eksistensinya sebagai sebuah industri.
Tuduhan kedua yang juga lantang berbunyi adalah minimnya literasi masyarakat dan minimnya sikap kritis masyarakat terhadap sebuah informasi yang beredar atau dapat dikatakan masyarakat lebih suka memilah dan memilih informasi yang sesuai kehendak hatinya dan membenarkan informasi yang sesuai dengan kesukaannya dan menepis jauh-jauh informasi yang tidak disukainya sekalipun informasi itu adalah fakta.
Misalnya ketika seseorang mengidolakan penyanyi A dan tersiar kabar bahwa penyanyi tersebut memberi sumbangan senilai 1M pada 10 desa di Jawa Tengah maka tanpa ragu dan mencari fakta atas sebuah kebenaran orang tersebut pasti akan mengamininya.
Sebaliknya, jika tersiar kabar tentang penyanyi A yang tertangkap polisi karena penyalahgunaan narkoba maka orang tersebut akan mengatakan bahwa info tersebut adalah hoax meskipun pihak kepolisian telah melakukan konferensi pers yang membuktikan kasus tersebut.
Tuduhan kedua tersebut juga tidak bisa Dikatakan salah karena faktanya memang sebagian masyarakat kita masih lebih gemar memilah dan memilih berita berdasarkan kesukaan, bukan berdasarkan kebenaran.
Sebelum kita terlampau jauh melakukan kritik terhadap praktik media yang hanya mengejar kecepatan pemberitaan tanpa memperhatikan validitas sumber informasi, tak ada salahnya jika kita lebih dulu melakukan introspeksi diri untuk melihat kesalahan dari yang terdekat yakni diri kita sendiri dan orang-orang disekeliling kita.
Mungkin seperti pepatah gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut diseberang lautan nampak terlihat.
Alangkah baiknya kita melihat dari sesuatu yang terdekat dulu karena seringkali kita terlalu jauh melihat padahal sesuatu yang kita cari ada didekat kita.