Ajang pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan beberapa waktu silam merupakan sebuah momentum pesta demokrasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak sisi-sisi penting yang bisa kita lihat dan jadikan pelajaran untuk membaca peta politik Indonesia beberapa tahun kedepan sekaligus juga menjadi penentu nasib masyarakat dalam lima tahun kedepan.
Dalam momentum ini ada dua pertanda yang dapat kita lihat dari momentum pilkada serentak ini. Pertama, secara sederhana kita dapat melihat sejauh mana kepuasan masyarakat akan kinerja petahana selama menjalankan masa jabatannya dan kerja nyata yang dirasakan langsung manfaatnya bagi masyarakat. Kedua, pilkada serentak ini juga dapat menjadi sebuah tolak ukur iklim demokrasi kita dalam beberapa tahun belakangan ini.
Dalam melihat kepuasan masyarakat akan kinerja gubernur petahana, hal ini dapat tercermin dari tingginya perolehan suara yang didapat oleh gubernur petahana sebagai modal utama untuk menduduki kembali posisi sebagai gubernur dalam periode kedua. Terpilihnya petahana untuk bertahta kembali menduduki posisi sebagai gubernur juga merepresentasikan bentuk kepercayaan masyarakat pada petahana untuk melanjutkan kinerja yang baik selama menduduki jabatan.
Selain itu, tumbangnya petahana gubernur juga dapat menjadi cerminan mengenai iklim demokrasi kita beberapa tahun belakangan. Dalam data yang dirilis oleh Puskapol UI pada jumat (28/06/2018) hanya tiga kandidat petahana gubernur yang diprediksi akan melanjutkan kepemimpinan didaerahnya masing-masing diantatanya adalah Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan gubernur Maluku Utara Abdul Gani. Sedangkan sisanya diprediksi akan gagal mempertahankan tahta kepemimpinannya.
Tidak terpilihnya petahana gubernur untuk kembali bertahta menduduki jabatannya dapat merepresentasikan ketidakpuasan masyarakat yang dipimpinnya akan kinerja petahana gubernur tersebut. Padahal, posisi sebagai petahana gubernur merupakan sebuah posisi yang menguntungkan.
Hal ini karena petahana memiliki masa kampanye yang jauh lebih lama dibandingkan dengan calon gubernur baru. Petahana dapat membuat imaging policy dengan membuat branding dan membentuk citra positif melalui program dan kinerja nyata yang dirasakan oleh masyarakat selama lima tahun masa jabatan. Kesempatan ini tentu tidak dimiliki oleh cagub dan cawagub baru yang memiliki masa kampanye lebih terbatas.
Tumbangnya petahana dapat mencerminkan membaiknya demokrasi kita saat ini. Hal ini lantaran masyarakat langsung melakukan kritik terhadap kinerja petahana melalui momentum pilkada dengan tidak memilih petahana untuk menjabat kembali. Sikap masyarakat juga dapat menjadi evaluasi bagi kinerja petahana jika tidak terpilih untuk menjabat kembali. Terlebih jika kita melihat beberapa tahun silam dimana politik uang dan dinasti politik menjadi permasalahan pada tiap tahun politik.
status petahana sebagai incumbent memiliki kekuatan yang tidak dapat diremehkan oleh paslon lainnya sehingga tumbangnya petahana menjadi bukti bahwa masyarakat tidak lagi bisa diperdaya oleh politik uang dan posisi elit yang hanya mempertahankan kekuasaannya saja tanpa memberikan kinerja maksimal untuk masyarakat. Hal ini juga membuktikan bahwa salah satu cara untuk merebut hati masyarakat adalah dengan memberikan kinerja maksimal selama menjalani masa jabatan sehingga semua modal, kelebihan dan kekuatan yang dimiliki petahana akan sia-sia belaka tanpa memberikan kinerja yang maksimal pada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H