Di tengah riuhnya media akan berita-berita kasus kriminal yang kian mencuat, kasus kriminal anak disadari atau tidak menjadi salah satu kasus yang cukup membuat kita tercengang. Bagaimana tidak, dengan berbagai motif serta latar belakang pelaku banyak sekali anak-anak yang mengalami trauma psikis akibat menjadi korban kekerasan bahkan tak sedikit juga yang meregang nyawa. Belum hilang dari ingatan kita tentang kasus Jamaludin bocah sekolah dasar yang tinggal di Depok Jawa barat ini diculik oleh seorang pria bernama Begeng dan disekap dirumah Begeng di bilangan Halim Jakarta timur. Tak sampai disitu, ketika aparat melakukan pengepungan dirumah tersangka Begeng, korban bernama Jamaludin telah ditemukan tak bernyawa dikamar mandi rumah tersangka.
Belum genap hitungan 24 jam yang lalu, kekerasan anak kembali terjadi pada Marvel, balita usia dua tahun yang tinggal bersama kekasih ayahnya. Ayah Marvel terlalu menaruh rasa percaya kepada kekasihnya, Riyanti untuk menjaga buah hatinya bahkan tinggal bersama buah hatinya. Menurut penuturan ayahnya, Marvel menjadi lebih ceria, makannya lebih teratur dan tidurnya pun terlihat lebih pulas sejak tinggal dan diasuh oleh Riyanti. Hal itulah yang membuat ayah Marvel semakin menaruh rasa percaya pada wanita tambatan hatinya itu.
Sebelum meninggal, Marvel sempat mengalami koma hingga 9 hari tanpa ada pendarahan sedikitpun. Saat mengetahui Marvel meninggal ibu kandung Marvel menginginkan pihak kepolisian untuk melakukan otopsi terhadap jenazah Marvel. Fakta mencengangkan pun didapat, hasil visum menunjukan bahwa sekujur tubuh Marvel mengalami luka akibat kekerasan serta kepala Marvel mengalami keretakan yang membuat Marvel tak sanggup untuk bertahan hidup. Saat ini Riyanti, kekasih ayah korban sekaligus tersangka utama atas meninggalnya Marvel telah diringkus oleh aparat di bilangan Bintaro, tangerang selatan.
Mengingat makin maraknya kasus kekerasan yang melibatkan anak dengan pelaku yang mayoritas adalah orang terdekat sudah sepatutnya kita mengevaluasi pola asuh serta pendidikan anak. Hal ini penting dilakukan dan alangkah baiknya dilakukan sedini mungkin agar anak sendiri pun dapat melakukan proteksi diri jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Minimal anak menjadi lebih terbuka dan tidak tersudut oleh intimidasi yang mengakibatkan anak menjadi tertutup ketika menjadi korban kekerasan. Orangtua sebagai benteng utama perlindungan terhadap anak harus lebih aware terhadap interaksi anak dimanapun anak berada sekalipun dalam lingkungan keluarga.
Mengingat kasus demi kasus yang terjadi bukan tidak mungkin kekerasan pada anak terjadi di lingkungan terdekat semisal keluarga. Oleh karenanya komunikasi yang terjalin antara anak dan orangtua harus terjalin secara baik dan berkesinambungan. Disela kesibukan orangtua harus meluangkan waktu untuk duduk berbincang dengan anak agar anak lebih terbuka kepada orangtuanya dan merasa aman untuk meminta perlindungan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anak. Sebagai tata pemerintahan dalam lingkup terkecil dan terdekat ditengah masyarakat, kelurahan rt dan rw juga harus turut berperan aktif dalam penanggulan kekerasan anak.
Tokoh masyarakat serta pegawai kelurahan, rt dan rw membentuk sebuah satgas yang berfungsi untuk melakukan pendataan sekaligus pembaruan data setiap periode rutin terkait junlah anak yang berada di lingkungan setempat serta latar belakang keluarga anak tersebut misal anak broken home yang hanya tinggal bersama ayahnya atau anak yang hanya tinggal bersama kakek dan neneknya karena kedua orangtuanya pergi merantau untuk bekerja. Semua elemen harus bersinergi untuk membentuk sebuah proteksi sejak dini dimulai dari lingkup terkecil untuk memininalisir ruang gerak dan peluang terjadinya kekerasan pada anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H