Mohon tunggu...
Andara Perdiana Putri
Andara Perdiana Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Stereotype Gen Z: Menjadi Pengangguran Karena Pertahankan Harga Diri

12 Desember 2024   21:26 Diperbarui: 12 Desember 2024   21:26 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Generasi Z atau Gen Z akhir-akhir ini sering menjadi topik perbincangan, karena memiliki sejumlah stereotipe, salah satunya bahwa Gen Z menjadi pengangguran karena pertahankan harga diri mereka mencerminkan pandangan yang sering kali simplistic dan merugikan terhadap generasi ini. Banyak orang menganggap bahwa Gen Z terlalu pilih-pilih dalam memiliki pekerjaan, hanya mau berkarier di bidang yang sesuai dengan passion mereka, dan enggan menerima pekerjaan yang dianggap "di bawah" mereka.

Gen-Z sering dianggap problematik, seperti terlihat dengan kebiasaan mereka menggunakan istilah baru (seperti "healing" dan "self-reward") serta dicap sebagai generasi yang memiliki mental lemah dan mudah mengeluh. Padahal realitas yang dihadapi oleh kebanyakan Gen Z jauh lebih kompleks. Mereka tumbuh dalam era ketidakpastian ekonomi, dengan beban utang pendidikan yang tinggi dan pasar kerja yang semakin kompetitif.

Karena keunikan generasi z ini, Universitas Paramadina menggelar diskusi bertema "Gen-Z & Work Ethic Problem" pada 25 oktober 2024 lalu. Hasil dari riset yang telah dilakukan bersama Continuum, menunjukkan sekitar 62% Gen Z mengutamakan "pengakuan" terhadap harga diri mereka dalam mencari pekerjaan, terutama dalam hal gaji atau kompensasi. "Harga diri" yang dimaksud dijelaskan dalam diskusi ini, antara lain;

  • Kecocokan dengan atasan, rekan kerja dan lingkungan

Gen-Z menginginkan pekerjaan yang short term maka short win atau kecepatan kompensasi setelah berhasil mengerjakan proyek. jika nilai perusahaan tidak sesuai dengan nilai mereka, mereka cenderung keluar dengan mudah. Psikolog sekaligus dosen Universitas Paramadina, Tia Rahmania mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan hampir 10 juta Gen Z di Indonesia menganggur, salah satunya adalah tidak adanya kecocokan antara keahlian (skill) dan kebutuhan pasar kerja. Saat ini, kata Tia, terdapat fenomena pekerja Gen-Z yang kurang disiplin dan terlalu banyak menuntut. Orientasinya hanya berkutat kepada hasil, work life balance, anti lingkungan kerja toxic, kutu loncat dan cenderung pemilih.

  • Gaji yang sesuai

Gen Z ingin memilih sendiri pilihan-pilihan benefit, seperti tunjangan kendaraan, komunikasi dan lain sebagainya. Adrian Wijanarko, Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina mengatakan gen Z merupakan generasi yang memiliki tekanan internal tersendiri. Di mana pada banyak kasus, gen z menjadi tertekan karena sejumlah persoalan pribadi seperti orang tua yang telah pensiun, sementara harus juga memikirkan biaya kuliah adiknya. Dari sisi literasi keuangan Gen Z termasuk yang kurang baik, sehingga mereka sering kerepotan dalam pengelolaan keuangan pribadi

  • Ambisi dan ekspektasi yang tinggi

Tingginya ekspektasi dan ambisi yang dimiliki gen z membentuk masalah bagi mereka sendiri. Menurut Tia Rahmania, gen z akan mengisi 27 persen populasi kerja pada 2025, banyak gen z mengalami stress kerja karena tidak bisa menghargai proses yang telah dikerjakannya. Untuk itu, Nila Marita, Direcor Corporate Affairs at GoTo akan memberikan pelatihan yang bertujuan meningkatkan keterampilan karyawan untuk berbagai usia terutama gen z. Pelatihan tersebut berbentuk enginering boothcamp, generasi gigih, dan associate product manager boothcamp.

Berdasarkan pembahasan dari ruang diskusi ini, karakter Gen Z dalam masa remaja atau awal dewasa membuat mereka merasa krisis identitas, itulah mengapa mereka memikirkan terkait teman dekat, moody, merasa orang tua terlalu ikut campur, terlalu kompetitif dan sebagainya. Saat ini gen z banyak yang mengadopsi istilah ATM di mana ATM ini adalah proses amati, teliti dan modifikasi.

Selain itu, keinginan Gen Z untuk menjaga kesehatan mental dan keseimbangan kehidupan kerja sering kali dipandangan sebagai bentuk keangkuhan, padahal itu adalah upaya untuk mencari llingkungan kerja yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. Penting untuk memahami konteks ini agar kita tidak terjebak dalam stereotip yang mengabaikan tantangan nyata yang dihadapi oleh Gen Z dalam membangun karier mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun