Mohon tunggu...
Hamdan eSA
Hamdan eSA Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

bukan siapa siapa, hanya orang biasa...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Spiral of Silence dan Diamnya Kaum Intelek

24 Juli 2024   12:56 Diperbarui: 24 Juli 2024   12:59 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi From: D'Oyly Carte  Opera Company

Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan opini mayoritas meningkat, menciptakan suasana ketakutan dan kecurigaan yang meluas. Banyak individu merasa terpaksa mendukung atau setidaknya tidak menentang kebijakan pemerintah secara terbuka.

Intelektual dan akademisi yang berani berbicara sering kali menghadapi konsekuensi serius, seperti kehilangan pekerjaan atau ditangkap. Kondisi ini menciptakan budaya ketakutan yang menghambat perkembangan intelektual dan diskursus akademis.

Kasus Orba di Indonesia menunjukkan bagaimana spiral of silence dapat membuat intelektual memilih untuk tetap diam dalam menghadapi opini mayoritas yang represif. Ketakutan akan isolasi sosial dan represial menjadi pendorong kuat di balik keputusan mereka untuk tidak berbicara. Akibatnya, publik kehilangan suara-suara kritis yang sangat penting bagi masyarakat demokratis yang sehat.

Dalam satu dekade terakhir, harus diakui kehidupan demokrasi memang lebih maju dibanding Orba. Namun terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan berlangsungnya mekanisme spiral of silence.

Sebagian besar media mainstream, mendukung kebijakan pemerintah, terutama terkait pembangunan infrastruktur. Liputan yang dominan mengkonstruksi positif, menciptakan kesan bahwa kebijakan pemerintah mendapatkan dukungan luas dari publik. Media sosial juga memainkan peran besar dalam membentuk opini publik. Dukungan dari "influencer" dan buzzer pro-pemerintah sering kali mendominasi narasi di media sosial.

UU ITE sangat mungkin digunakan untuk menuntut individu yang mengkritik pemerintah, baik di media sosial maupun media konvensional. Ketakutan akan dikenakan pasal karet, membuat banyak orang memilih untuk tidak berbicara. Individu yang secara vokal mengkritik pemerintah sering kali menghadapi serangan balik di media sosial, termasuk ancaman dan intimidasi dari akun-akun anonim atau pendukung pemerintah.

Akibat dari ketakutan tersebut, tidak sedikit intelektual, akademisi, dan tokoh masyarakat yang memilih "cari aman" dengan tetap diam atau tidak menyuarakan kritik mereka secara terbuka. Mereka memilih untuk melakukan self-censorship, menyensor diri mereka sendiri, menghindari pembahasan isu-isu sensitif yang bisa menarik perhatian negatif atau tindakan hukum.

Beberapa intelektual mungkin lebih memilih untuk berdiskusi di forum-forum tertutup atau akademik daripada menyuarakan pendapat mereka di ruang publik yang lebih luas.

Mengatasi spiral of silence memerlukan upaya bersama dari pemerintah, media, dan masyarakat sipil untuk menciptakan iklim yang mendukung kebebasan berekspresi dan dialog terbuka. Masih sangat relevan untuk melakukan reformasi hukum, pemberdayaan lembaga hak asasi manusia, peningkatan literasi media, dan komitmen untuk pemberitaan yang berimbang.

Langkah tersebut penting untuk dapat membantu mengatasi ketakutan akan isolasi sosial dan reprisal (pembalasan), serta memastikan bahwa suara-suara kritis tetap terdengar dalam diskursus publik.

Polewali Mandar, 01 Juli 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun