Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar penetapan hukum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran dan hadits Nabi saw.
Dalam konteks pemahaman itulah para ulama sejak awal ikut menjadi bagian penting dalam perjuangan kemerdekan, mempertahankan, dan membangun bangsa Indonesia. Tetapi itu masa lalu!Â
Persoalannya, dapatkah generasi islam saat ini dan beberapa kurun waktu ke depan mempertahankan identitas dan karakter bangsanya dalam percaturan global?
Era globalisasi sejak awal abad kedua puluh satu ini telah melahirkan tantangan yang berat bagi bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia. Untuk tetap eksis, maka bangsa Indonesia harus mempertahankan identitasnya dan karakternya. Sebab bangsa yang tidak memiliki identitas dan karakter serta hanya mengekor pada bangsa lain dalam sistem nilai, budaya, dan pemikiran, adalah bangsa yang tidak akan mampu untuk survive dalam percaturan global.
Kuat lemahnya karakter suatu bangsa jelas berawal dari kualitas individu-individu yang membentuknya. Jika individu-individu pada bangsa itu telah baik maka bangsa yang bersangkutan telah memiliki modal sangat besar untuk maju.
Umat Islam Indonesia harus mengambil bagian dari upaya pembentukan individu-individu berkuatlitas yang memiliki kemampuan mempertahankan identitas dan karakter bangsanya. Bukan sebaliknya, menjadi bagian dari upaya-upaya penghancuran identitas dan karakter bangsa.
Jika boleh, penulis ingin menyebut individu-individu berkualitas yang memiliki kemampuan mempertahankan identitas dan karakter bangsa itu dengan istilah "kualitas insan pancasila", yakni mereka yang berkesadaran dan berkepribadian pancasila yang termanifestasi dalam sikap dan prilaku sehari-hari, serta bakti dan karyanya.
Generasi Islam ke depan mestinya dapat mengambil peran dan menjadi bagian dari upaya mulia mempertahankan identitas bangsa dan membangun karakter bangsa. Generasi Islam kini dan ke depan mestinya malu jika mereka justru tercatat dalam sejarah bahwa di tangan merekalah Indonesia kehilangan identitas dan karakternya.
Di saat yang sama juga mestinya malu jika tercatat dalam sejarah bahwa melalui tangan merekalah di Indonesia ini Islam menemukan kehancurannya, dalam pengertian Islam tidak memberi manfaat yang berarti bagi bangsa dan Negara.
Wawasan keagamaan dan wawasan kebangsaan harus bersinergi secara seimbang. Azas rahmatan lil 'alamin menegaskan makna tentang betapa urgennya membangun relasi antara Islam dengan budaya, pada ruang dan waktu di mana pun ia berada. Ibarat sebiji bulan yang memendarkan cahaya, dan cahaya tersebut menyentuh bumi tanpa penolakan, diterima oleh seluruh bagian bumi yang berbeda-beda. Great tradition (rahmatan) harus terurai ke dalam ruang-ruang little tradition (al-'alamin).
Olehnya itu, keasadaran rahmatan lil 'alamin masih perlu ditopang oleh instrumen akhlaq al-karim dan 'amalun shalihan. Islam sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam hanya menjadi ungkapan utopia dan bombastis belaka jika ia tidak dibarengi dengan moral dan etik yang terpuji (akhlaq al-karim) serta dibarengi aktivitas-aktivitas dan karya-karya positif nan konstruktif ('amalun shalihan) dalam lingkungan sosio-kultural di mana ia berada. Islam itu sejatinya banyak memberi, bukan banyak menuntut dan mengeluh.