Mohon tunggu...
Hamdan eSA
Hamdan eSA Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

bukan siapa siapa, hanya orang biasa...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Musim Berganti

16 Januari 2014   07:55 Diperbarui: 9 Maret 2024   21:08 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

cerpen hamdan

Kesekian kalinya dalam lima tahun, Pai tak dapat memenuhi panggilan Lila untuk hadir di rumahnya, rumah yang Lila yakini dan rasakan sebagai ruang surga. Lila lebih tertarik merayakan pergantian musim daripada merayakan ulang tahunnya. Pai bahkan tak dapat mengingat untuk menghitung-hitung kembali seberapa banyak bentuk ekspresi yang Lila lampiaskan kepadanya sebagai bahasa kekecewaan setiap kali dirinya tak datang. 

Tetapi panggilan kali ini adalah panggilan dalam rangka pergantian musim, dari kemarau ke hujan. Bagi Lila tak ada momen berarti selain momen pergantian musim. Jika musim kemarau berganti hujan, ia membuat pesta penyambutan. Jika musim hujan berganti kemarau, ia membuat pesta pelepasan.

Pai tak datang bahkan hingga semua undangan telah balik terlelap di rumahnya. Dari situlah kekecewaan itu terakumulasi. Kekecewaan semakin membengkak, menekan seluruh saraf yang mengalirkan rasa cinta. Atas kekecewaan itu, kali ini Lila melakukan semacam aksi diam, diam sediam-diamnya terhadap Pai, tak ingin ngomong dengan Pai. Macam-macam caranya. Tidak mau berhadapan langsung dengan Pai, tidak membalas sms, tidak menjawab telepon atau bila perlu masukkan nomor handphone Pai ke dalam daftar tolak. Pokoknya diam, dengan tujuan agar Pai dapat mengerti batapa ia kecewa. 

Tapi semua cara itu bagi Lila, tidak akan berhasil jika Pai tidak mampu menangkap maksud dari bahasa tanda yang disampaikannya. Karena itu, meski diam sediam-diamnya, tetap jangan menjauh. Jadi bagi Lila, penting untuk melampiaskan kekecewaan sepanjang bahasa atau tanda yang digunakan dapat dibaca sebagai kekecewaan. Agar dapat terbaca, yah jangan menjauh.

Sudah seminggu Pai merasa tak pernah bertemu Lila, padahal sebenarnya dalam batinnya tahu dan memang kenyataannya seperti itu, Lila tidak pergi ke mana-mana. Kemarin ia sempat melihatnya di kantin. Hanya saja Pai sedang terburu-buru untuk sesuatu urusan, dan Lila dibiarkannya lewat. Pai mulai gelisah karena tak bertemu. Sebenarnya ia tak biasa bila tak bertemu Lila. Biasanya, sepanjang mereka menjalin hubungan kasih, waktu paling lama ia tak bertemu adalah tiga hari. Lila juga sebenarnya sengaja lewat di jalan itu, jalan yang ia yakini bahwa dengan melalui jalan itu, ia dapat dilihat oleh Pai. 

Lila sudah sampai diambang kehilangan daya tahan. Ia sudah sangat ingin bertemu. Bagaikan bom yang akan meledak, hanya tertinggal sekian menit untuk meledak. Betapa menggebunya rasa itu. Hanya saja di sisi lain, rasa kecewa yang begitu tinggi sampai seminggu ini belum tertangkap oleh Pai. Ada perasaan tak adil jika Pai tak menangkap kekecewaan itu. Pai harus tahu apa yang terjadi pada diri Lila atas perlakuannya. Pai harus tahu ada kekecewaan Lila padanya. Dan karena itu ada rasa tak adil jika mereka langsung saja bertemu. Jika kekecewaan tak terbaca oleh Pai dan mereka langsung bertemu seperti biasa, Pai akan biasa-biasa saja. Sementara Lila merasa ini bukan hal biasa. Dan Pai akan mengulanginya lagi.

Hujan memang telah usai, tapi hujan masih menyisakan cerita tentang tanah dan dedaun yang basah. Juga menyisakan butiran-butiran rintik lembut yang menyatu dengan angin malam. Sedari tadi hujan turun mengguyur seluruh isi kampung. Tapi bagi Lila, hujan itu juga mengguyur basah seluruh hatinya. Guyuran yang kencang seakan mengikis seluruh rasa kecewanya yang telah menggumpal dan hampir saja mencapai titik beku membatu mengisi hatinya. Kebekuan itu sedikit terurai tersapu siraman hujan. 

Tiba-tiba Lila sangat ingin menelpon Pai, atau bila tidak, cukup dengan sms. Ia menulis sms singkat untuk Pai; pa kabar kak? Lama sekali ia terus menatap teks yang hanya tiga kata itu. Pikirannya menjadi sebuah medan pertempuran dahsyat antara keinginan mengirim sms dan akumulasi rasa kecewa yang telah tertekan seminggu. Sesekali melirik ke tombol “ok” dimana ujung ibu jarinya telah menempel di atasnya. Tombol itu tinggal di tekan, tapi tidak juga ditekan.

Yang tak bisa terbuang dari pikiran Lila adalah, bila Pai tidak mengetahui keadaan sakit dan kecewa ini terjadi pada dirinya, sampai mereka kembali menjalani hubungan seperti biasa, maka Pai di lain waktu nanti, akan melakukannya lagi dengan mudah dan seenaknya. Lila bisa saja mengikhlaskan sebagaimana yang sering ia lakukan sebelum-sebelumnya setiap kali Pai tak datang. Tapi sampai kapan jika kekecewaan itu terus berulang. 

Satu jam telah lewat dari tengah malam, Lila belum juga tidur. Lengannya terlentang lemah di sampingnya, dan handphone itu jatuh begitu saja dari jemarinya. Jatuh di atas kasur yang terbebani oleh kegelisahan. Tak lama handphone itu diambilnya lagi, ditatapnya teks sms dengan mata tak berkedip. Ujung ibu jarinya menggosok-gosok tombol “ok”. Demikian seterusnya, hingga ia terlelap.

Lila tersentak ketika handphonya berdering. Ia mencarinya. Ternyata ada di lantai. Di sambarnya handphone itu secepat mungkin. Tangannya sangat cepat menyaingi atlit olahraga dalam kategori speed. Duganya pasti Pai yang menelpon meskipun dia juga sebenarnya tak ingin dugaannya benar. Dugaannnya melenceng. Nomor pemanggil belum tersimpan dalam daftar kontak. Pikirannya langsung bekerja tanpa pemanasan. Lila tak mungkin menjawab panggilan, karena bisa saja itu Pai. Tapi bisa juga itu panggilan dari orang lain yang membutuhkan sesuatu darinya. Ia membiarkan handphone itu berdering dan menyelipkan di bawah bantal. 

Baru saja Lila hendak membaringkan tubuhnya kembali, tiba-tiba ia menyambar kembali handphonenya melihat jam. Pukul 07.30. Hatinya makin gusar. Ini sudah hari ke delapan, tetapi Pai juga belum tersentuh hati untuk menelpon atau sms meski hanya sekata pada dirinya. Baiklah! Kita akan melihat siapa yang akan kuat bertahan! Tegasnya dalam hati. Sejak hari itu Lila belajar tak mengingat Pai. Bahkan semakin berusaha untuk tak terjangkau oleh upaya yang memungkinkan Pai mudah mendapatkannya, jika sewaktu-waktu Pai mencarinya. Cinta butuh hukuman, dan pada hukuman itulah cinta akan teruji. Demikianlah tekad Lila. 

Segera setelah itu, ia betul-betul menghilang dari peredaran. Ada yang mengatakan ia pergi merantau mencari pekerjaan. Ibu bapak serta saudaranya tidak tau Lila ke mana. Teman-temanya mencari informasi sebisa yang mereka tau bagaimana melacak segala kemungkinan. Sepekan, dua pekan, sepuluh pekan, 50 pekan, waktu berjalan dan berlalu.

Musim hujan telah datang kembali. Para tamu keluar masuk bergantian sepanjang hari dari rumah Pai. Mereka menaruh simpati pada Pai yang harus di kurung di kamar. Ia tak boleh keluar. Sebab setiap perempuan yang ditemuinya dimana saja, ia selalu menyangkanya sebagai Lila. Lalu ia bertanya; 

“Lila, masih ingatkah engkau saat bertanya padaku, mengapa orang-orang membuat rumah dengan tiang-tiang beton atau kayu-kayu mati? Engkau katakan ingin membuat rumah dengan tiang kayu yang hidup. Aku menjanjikanmu. Kini aku datang hendak membawa janjiku.”

Begitu yang ia ucapkan sambil memperlihatkan lembaran sertifikat kepemilikan tanah dan bangunannya. Setiap perempuan merasa sedih melihat ketulusan Pai berbicara dengan bibir gemetar. Karena sertifikat itu memang asli benar adanya. Tapi tak ada yang dapat mengetahui jejak Lila. Kecuali sms terakhirnya pada adik Pai sebelum nomornya betul-betul tidak aktif lagi. Sms itu masih ada tersimpan dalam inbox message; jika musim berganti.

 

Bulukumba, 12 januari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun