Hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah, saya bukan timsesnya Prabowo, saya juga bukan pembela Prabowo (karena seperti yang sudah sama-sama kita saksikan dalam debat capres dan cawapres, Prabowo cukup mampu dan bisa untuk membela dirinya sendiri, sehingga tidak perlu orang lain untuk membela dirinya). Saya menyukai dan menyenangi untuk melihat dari sisi-sisi yang tidak terlihat. Saya menyukai dan menyenangi sudut-sudut yang lain untuk menemukan jawaban. Jadi maaf-maaf saya kalau kita berbeda.
Dalam tulisan saya http://politik.kompasiana.com/2014/07/15/semua-karena-jokowi-673895.html, saya menuliskan bahwa tindakan pendeklarasian kemenangan berdasarkan QC yang dilakukan Jokowi adalah cerminan sikap yang tidak tepat dan bijaksana dan sekredible apapun lembaga survei, tetaplah keputusan KPU yang menjadi legalitasnya.
Sekarang situasinya saya balik dengan asumsi,
1. Deklarasi kemenangan Jokowi berdasarkan hasil QC adalah merupakan hal yang wajar.
2. Lembaga survei yang menyatakan kemenangan Jokowi adalah lembaga yang telah terbukti kredibilitasnya dari rekam jejaknya yang tidak pernah berbeda dengan KPU dalam pemilihan-pemilihan sebelumnya.
Sebagai implikasinya "Prabowo seharusnya sudah mengakui kemenangan Jokowi". Tapi yang terjadi bukanlah pengakuan Prabowo, tapi justru pernyataan Prabowo yang berkali-kali mengatakan akan menerima apapun keputusan KPU tanggal 22 Juli nanti. Mengapa? Mengapa harus menunggu tanggal 22 Juli?, bukankah sudah jelas kemenangan ada ditangan Jokowi dilihat dari hasil QC?
Jagad mayapun riuh-rendah, ada yang berpendapat Prabowo tidak legowo, tidak mau menerima kekalahan, bahkan ada pendapat yang mengatakan kalau Prabowo sengaja membentuk opini untuk mematahkan kemenangan Jokowi yang sudah jelas-jelas menang dengan mempengaruhi KPU. Saking serunya ada yang menulis surat terbuka untuk Prabowo dan meminta Prabowo legowo.
Dari gambaran diatas terlihat jelas logika efek yang terbangun dari pendeklarasian kemenangan yang dilakukan Jokowi. Tidak ada yang salah memang dalam logika itu, tapi ada satu hal yang terlupakan yaitu pemahaman tentang BAGAIMANA BERPEMERINTAHAN DAN BERNEGARA YANG BAIK DAN BENAR. Saya tidak tahu apakah dalam kontek pemahaman tentang bagaimana berpemerintahan dan bernegara yang mengharuskan kita untuk memperbaiki dan memperkuat aturan-aturan yang ada serta memperkokoh keberadaan instuisi negara seperti KPU dipahami dan dimengerti dengan sangat baik oleh seorang Jokowidodo yang pernah menjadi seorang walikota dan gubernur untuk waktu yang cukup lama.
Hal diatas itulah yang menyebabkan mengapa Prabowo selalu mengatakan "akan menerima sepenuhnya hasil yang diumumkan oleh KPU", sebagai bentuk kepatuhan dalam berpemerintahan dan bernegara. Pengakuan Prabowo terhadap kemenangan Jokowi yang hanya mendasarkan kepada hasil QC justru akan merupakan pelecehan terhadap instuisi negara, yaitu KPU.
Biaya penyelenggaraan pileg 2014 yang digunakan KPU sampai dengan tahap penghitungan akhir selesai diperkirakan menghabiskan dana hampir 4.1T. Bayangkan betapa sia-sia nya dana sebesar itu kalau perhitungan akhirnya kita lebih mempercayai validitas dari hasil QC.
Opsi lain yang menarik untuk dicermati adalah kita tidak perlu mengadakan pilpres tahun 2019 nanti, marilah kita bersama-sama membubarkan KPU dan melegitimasi lembaga survei sebagai lembaga pemilihan presiden berdasarkan QC, sehingga kita nantinya menjadi satu-satunya negara didunia yang memiliki Presiden berdasarkan versi QC. Hebat sekali bukan. Dan semoga juga model pemilihan melalui QC itu juga menjadi model yang menginspirasi pemilihan umum lainnya didunia. Satu hal lagi yang menjadi keuntungan dari pemilu secara QC ini adalah biayanya yang murah, mungkin 1T saja sudah cukup. Jika biaya perbaikan jalan besarnya 1milyard per kilometer, kita bisa memperbaiki lebih kurang 3100km jalan diseluruh Indonesia dari sisa dana tersebut. Semoga saja kalau Jokowi terpilih jadi Presiden pemikiran seperti ini bisa terlaksana.