Ada kegelian yang menggelitik ketika melintas jagad maya menyaksikan kiprah para pendukung kedua calon Presiden. Biasanya pada akhir-akhir perdebatan ada yang merasa bahwa pihaknya dizalimi oleh pihak dilainnya. Tidak ada yang dominan, pihak Jokowi merasa dizalimi, pihak Prabowo pun merasa dizalimi. Jadi sebenarnya siapa yang benar-benar dizalimi?
Zalim adalah kata serapan dari bahasa arab yang dapat diartikan sebagai kekejaman, kekejian dan kebengisan. Sebenarnya dalam konteks perdebatan dan aksi saling dukung mendukung itu, tidak terlalu tepat untuk menggunakan kata-kata zalim. Saya lebih suka menggunakan kata-kata "tertekan". Jadi pihak mana yang sebenarnya tertekan akibat tertekan oleh pihak lainnya dan pihak mana yang sebenarnya tidak tertekan oleh serangan pihak lainnya.
Oleh karena hanya ada dua calon presiden yang tampil dalam pilpres 2014 ini, maka pilpres kali hampir mirip dengan pertandingan sepakbola. Ada tim yang diunggulkan dan ada tim yang tidak diunggulkan atau underdog. Serangan yang dilakukan terhadap underdog oleh tim yang diunggulkan, biasanya akan menimbulkan tekanan yang kuat sehingga tim underdog berada dalam "kondisi tertekan" atau "dizalimi". Sementara serangan terhadap tim unggulan tidak akan memberikan tekanan atau kalaupun terjadi penyerangan yang brutal sehingga timbul kondisi tertekan tidak dapat disebut dizalimi. Karena jika diibaratkan tim unggulan berbadan besar dan underdog berbadan kecil, maka bagaimana mungkin untuk mengatakan orang kecil menzalimi orang yang yang besar. Sekarang pertanyaannya berubah, siapa sebenarnya calon yang diunggulkan dan siapa sebenarnya calon yang underdog?
Jauh-jauh hari sebelum Pilpres berlangsung sudah dapat dilihat siapa yang berada pada posisi yang diunggulkan dan siapa yang berada pada posisi tidak diunggulkan. Dengan bermodalkan kemasan "kesederhanaan, kejujuran dan kerja keras", Jokowi mengungguli semua survey elektabilitas ditempat teratas. Berlanjut dengan pileg dimana PDIP berhasil menjadi partai dengan perolehan suara terbesar, jalan Jokowi sebenarnya sudah tidak terbendung lagi untuk maju menjadi Presiden RI. Kepercayaan diri yang tinggi terhadap tingkat elektabilitas Jokowi dan perolehan suara PDIP sebagai partai pemenang pileg, membuat PDIP membatasi diri dalam koalisi memajukan Jokowi sebagai capres, sehingga akhirnya Jokowi maju menuju Pileg dengan dukungan 4 partai yang jumlah keseluruhannya lebih kurang 39,4 %. Argumentasi tidak mau bagi-bagi kursi dan hanya mau berkoalisi dengan rakyat, sebenarnya argumentasi yang mudah untuk dipatahkan. Bagaimana mungkin dengan kekuatan dan legitimasi yang dimilikinya seorang Presiden tidak bisa mengontrol kabinetnya. Saya melihat ini adalah sebagai bentuk kepongahan dan kesombongan semata. "Blunder politik" atau kalau tidak bisa dikatakan "kebodohan politik" dengan berkoalisi hanya dengan jumlah yang terbatas akhirnya menjadi bumerang. Partai-partai yang tersisa, dengan dimotori Prabowo akhirnya bergabung menjadi kekuatan yang siap menyaingi pencalonan Jokowi.
Elektabilas Jokowi sedikit demi sedikit tergerus. Alasan black campaign sebagai penyebabnya saya kira adalah alasan yang terlalu dicari-cari. Penyebab sebenarnya adalah tingkat kebosanan dan kejenuhan masyarakat terhadap pencitraan yang dilakukan. Kalau hanya untuk melihat sebuah kesederhanaan dan kejujuran tidak perlu melihat Jokowi, banyak kesederhanaan dan kejujuran disekitar kita, tapi tidak diekspose seperti yang dilakukan terhadap Jokowi. Langkah yang tadinya tegap dengan kepala tegak, sekarang mulai gontai dengan kepala tertunduk. Ketidaksiapan untuk menjadi orang besar, membuat barisan Jokowi berjalan seperti "orang kecil berbaju besar", kedodoran dimana-mana menghadapi tingkat elektabilitas Prabowo yang terus merambat. Disinilah strategi "POLITIK LEBAY ala Mas JO" dimulai.
Dengan penambahan unsur "teraniaya dan terzalimi" oleh black campaign serta penempatan diri sebagai underdog, polilitik lebay ala Mas Jo mulai membuahkan hasil. Simpati dari golongan MELO dan golongan ABAL-ABAL, mulai membuat elektabilitas Jokowi terangkat kembali. Golongan MELO adalah golongan yang tidak miskin tapi berempati terhadap kemiskinan, tidak teraniaya tapi berempati seakan-akan ikut teraniaya, tidak sederhana tetapi seakan-akan sederhana. Golongan ini sebenarnya adalah orang-orang yang membutuhkan personafikasi untuk dianggap sebagai orang yang humanis, haus akan ego untuk kelihatan tampil sebagai manusia yang lebih manusiawi dari yang lainnya. Sementara golongan ABAL-ABAL merasa mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan ego perlawananan yang dimilikinya dengan adanya pencitraan yang terzalimi dan teraniaya.
Dari gambaran diatas ada beberapa kesimpulan yang didapatkan,
1. Tidak benar Jokowi ada dalam posisi underdog, gambaran teraniaya dan terzalimi hanyalah rekayasa pencitraan belaka akibat blunder politik yang dilakukan. Kalau saja PDIP sebagai partai pemenang pemilu lebih arif dan bijaksana dengan menampung partai lainnya dalam mengusung Jokowi sebelum pileg berlangsung tentu keadaan tidak seperti sekarang ini. Mungkin Prabowo akan benar-benar menjadi underdog dengan dukungan yang kecil.
2. Saya bukan seorang umat yang terlalu baik, tapi dalam bahasa yang saya mengerti ada pertanda yang tidak baik bila dilihat dari kacamata regilius. Jalan Jokowi untuk maju menjadi Presiden yang sebenarnya begitu mudah, tetapi ternyata harus melalui rintangan yang terjal dan panjang dengan persaingan yang sengit ini dapat dimaknai sebagai adanya pertanda yang tidak baik. Jika diilustrasikan, pohon mangga dengan buah ranum yang berdiri dekat sebuah kolam dimana ketika kita memetiknya buah mangga itu bergulir dan terjatuh masuk kedalam kolam. Dalam kacamata religius ini bisa dimaknai bahwa buah mangga itu bukan rejeki dan hak yang kita miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H