Mohon tunggu...
Andam Livi
Andam Livi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Statistisi

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat

Selanjutnya

Tutup

Money

Perbaikan Alur Distribusi Produk Pertanian untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani

28 Oktober 2017   19:03 Diperbarui: 9 Oktober 2019   20:13 1812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sumatera Barat dihuni oleh lebih dari 36 persen jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, atau sebanyak 855.583 tenaga kerja. Oleh sebab itu, kesejahteraan petani Sumatera Barat mau tidak mau harus menjadi sasaran utama kebijakan pemerintah sebagai trigger (pemicu) untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk secara makro di Provinsi Sumatera Barat. Sangat ironis sekali ketika kemiskinan menjadi parasit di sektor pertanian, sektor yang berkontribusi paling besar dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Sumatera Barat.

            Salah satu indikator yang bisa mencerminkan tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik setiap bulan ini bisa memberikan gambaran dan early warning bagi lembaga terkait untuk mengevaluasi dan membuat suatu kebijakan yang lebih tepat sasaran. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang utamanya terfokus pada bidang pertanian dan kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani (NTP) adalah perbandingan antara Indeks Harga yang diterima petani terhadap Indeks Harga yang dibayar petani. Atau dengan kata lain, NTP merupakan perbandingan antara fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan dan dijual oleh petani (Indeks harga yang diterima) terhadap fluktuasi harga barang-barang yang dibutuhkan petani untuk konsumsi dan memproduksi kembali (Indeks harga yang dibayar).

            Perbandingan harga bisa mencerminkan kemampuan daya beli petani akan barang-barang yang dibutuhkannya, baik untuk konsumsi maupun untuk input proses produksi. Petani yang berdaya beli tinggi akan mampu memenuhi kebutuhannya dan menjaga keberlangsungan usaha pertaniannya. Peningkatan pendapatan petani lebih besar dibandingkan peningkatan harga-harga barang yang dibutuhkan petani. Keuangan rumah tangga petani bisa surplus atau tidak merugi. Gambaran ini tercermin dalam angka NTP yang besar dari 100. Namun, ketika nilai NTP kecil dari 100 maka dalam hal keuangan rumah tangga petani mengalami defisit. Kenaikan harga barang pertanian yang diproduksi dan dijual petani lebih rendah dibandingkan kenaikan harga barang yang akan dikonsumsi petani. Pendapatan riil petani pun turun. Kondisi ini menyebabkan keuangan rumah tangga petani mengalami defisit.

Pada tanggal 13 Desember 2017, Badan Pusat Statistik merilis data Nilai Tukar Petani bulan November 2017 yang mana nilainya masih di bawah 100. Artinya, tingkat kesejahteraan petani masih rendah. Kemampuan daya beli rumah tangga petani sangat rendah. Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama. Pelemahan daya beli petani mulai terasa di akhir tahun 2014 dimana Nilai Tukar Petani yang biasanya berada jauh di atas 100 berangsur-angsur turun hingga kurang dari 100 pada bulan November 2014 dengan nilai sebesar 99,15. Kondisi ini tidak mengalami perbaikan yang berarti hingga pada akhirnya semakin jauh dari angka 100, yaitu jatuh hingga angka 96,15 pada bulan November tahun 2017 atau turun 0,46 persen dibanding bulan sebelumnya. Secara umum, pendapatan riil petani rendah dan rumah tangga petani selalu mengalami defisit selama 3 tahun kebelakang yang berakibat pada tidak tercapainya kesejahteraan petani.

Sebenarnya Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah berupaya membuat kebijakan yang terfokus pada kesejahteraan petani. Dari sisi fiskal, pemerintah provinsi telah mengalokasikan anggaran pemerintah daerah lebih dari 7 persen untuk pertanian, persentase terbesar se-Indonesia. Dengan persentase anggaran pertanian yang paling besar , pemerintah provinsi melakukan beberapa program pro-petani. Salah satunya adalah Program Gerakan Pensejahteraan Petani (GPP) yang dimulai tahun 2011. Gerakan ini mampu meningkatkan produksi pertanian. Program tersebut bisa meningkatkan produksi padi yang melebihi target nasional dan adanya produk pertanian yang diekspor ke provinsi lain.

Namun, semua kebijakan itu tidaklah cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Memang produksi dan pendapatan petani meningkat. Namun, pengeluaran petani meningkat jauh lebih tinggi. Pemerintah harus menerima fakta bahwa daya beli dan pendapatan riil petani menurun karena tingginya harga barang konsumsi dan barang modal petani. Sudut pandang lain yang bisa dijadikan alternatif namun luput dari objek fiskal dan perhatian pemerintah adalah panjangnya rantai distribusi produk pertanian. Semakin panjang rantai distribusi produk pertanian berbanding lurus dengan semakin besarnya peningkatan harga barang dari produsen pertama ke konsumen. Hal ini diebabkan karena adanya margin atau selisih harga untuk setiap lini distribusi. Tingginya harga produk pertanian menjadi pemicu tingginya harga produk olahan mengingat sebagian besar produk pertanian merupakan bahan baku produk lain. Produk olahan yang mau tidak mau harus dikonsumsi oleh petani. Peningkatan pendapatan petani, baik disebabkan karena kenaikan harga maupun kenaikan jumlah produksi, hanya bersifat semu. Peningkatan pendapatan yang dirasa petani tidak bisa mengimbangi peningkatan pengeluaran rumah tangga petani tersebut.

Untuk membatasi laju kenaikan harga yang disebabkan oleh tingginya margin perdagangan adalah dengan memangkas jalur distribusi produk pertanian. Pemangkasan jalur distribusi itu bisa dilakukan dengan cara pengadaan tempat dan sistem pengepulan skala besar yang terintegasi dan pro-petani. Tempat pengadaan ini merupakan perantara langsung antara produsen dan konsumen. Harga komoditi pertanian bisa diatur dengan mempertimbangkan biaya produksi petani. Tidak hanya itu, sistem ini juga bisa digunakan untuk mengontrol harga komoditi yang diterima konsumen. Tujuan pendistribusian komoditi pertanian bisa diatur dan dikirim ke berbagai daerah-daerah nonpertanian guna mengatasi kelangkaan dan penumpukan produk pertanian.

Selain itu, pemerintah bisa membuat aturan standardisasi produk dan mengedukasi petani dalam menstandardisasi produknya, baik standardisasi kualitas maupun stadardisasi pengemasan produk. Ketika produk sudah mempunyai standar yang jelas maka peluang produk pertanian yang diproduksi petani bisa bersaing dengan produk impor yang mulai menguasai pasar lokal. Produk petani tradisional bisa bersaing, baik di pasar tradisional maupun pasar/tempat perbelanjaan modern. Apalagi dengan adanya retail modern yang digagas pemerintah Provinsi Sumatera Barat beberapa tahun ini. Retail modern ini bisa dijadikan sebagai hilirisasi pemasaran produk petani lokal. Dengan terlaksananya pemotongan alur distribusi produk pertanian secara baik, standardisasi kualitas dan kemasan produk pertanian, dan optimalisasi pemanfaatan retail modern yang dikuasai pemerintah, diharapkan bisa meningkatkan Nilai Tukar Petani yang pada akhirnya petani di Sumatera Barat bisa lebih sejahtera.

Koran Singgalang, 27 Desember 2017 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun