Saat ku tersesat di padang gersang, ku lihat pohon kokoh tinggi menjulang rindang. ku tersenyum ke arahnya, berjuta harap berbaris rapi. Hmmm... sungguh nyaman berteduh dibawahnya. Menghirup udara segar, bersantai melepas penat, dengan menikmati keindahannya. Aku selalu mendatanginya, melepaskan segala gundah gulana, bercengkerama, berbagi cerita, mimpi dan angan masa depan dengannya. Â Anganku melayang, andai aku bisa miliki pohon ini seutuhnya.
Tak terasa waktupun berlalu kian cepat, berpacu dengan zaman. Hingga suatu ketika datanglah seorang kakek tua menghampiriku.
"Nak, menyingkirlah. Kakek ingin menebang pohon ini untuk membangun tempat rumah bagi anak gadis kakek. "
Ternganga aku mendengar suara sang kakek, beliau ingin menebang pohonku, tapi kenapa dan untuk apa, kenapa harus pohon ini?? tak adakah pohon yang lain?
Tak kuasa aku bersuara, ia sangat berharga bagiku. Ia selalu ada buatku, saat aku membutuhkan tempat untuk bersandar, tempat untuk berbagi kesah, yang menemani hari-hari ku yang gersang.
Dimana lagi aku bisa mendapatkan pohon serindang dan sekokoh ini. Aku tak ingin kehilangannya. Tapi akupun tahu, pohon ini tak ditanam untukku. Dia bukan milikku...
"Kek, bolehkah aku memunguti rantingnya?" Aku memelas berharap pada sang kakek.
"Ambillah..." Jawabnya seraya tersenyum.
"Terimakasih Kek."
Kupungut ranting yang berserakan itu, kukumpulkan serpihan-serpihan kenangan yang ditinggalkannya untukku. Â Kelak, saat malam datang mencekam, saat tak ada lagi sinar rembulan, kuharap rantingnya dapat menerangi malamku. Senantiasa menginspirasi dan menyinari, hingga malam-malamku tak terasa sunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H