Mohon tunggu...
Andalusia NP
Andalusia NP Mohon Tunggu... -

Andalusia...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

SDD: Kesederhanaan yang Menyentuh Setiap Lapisan Usia

30 Juli 2010   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:27 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.. dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.. dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.. Siapapun, ah tidak sebagian besar orang, pasti berkenalan dengannya melalui dua untaian kalimat di atas. Kalimat yang menyiratkan ketulusan, cinta yang tanpa pamrih, dan tentu saja kekhasannya: kesederhanaan. Ya, kali ini saya ingin berbicara tentangnya. Tentang 'dia' sebagai sosok yang saya kagumi karyanya, tentang 'dia' yang saya nikmati untaian katanya, dan tentu saja tentang 'dia' yang membawa saya pada wahana sastra sejak SMA dan akhirnya saya geluti hingga saat ini. Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi Oh, jenius mana yang bisa menciptakan untaian kalimat seindah dan tentu saja sebermakna itu? Mari kawan, saya ajak berkenalan padanya dengan cara saya. Dengan cara sederhana, yang senantiasa terpancar dari karyanya. Ya, kesederhanaan. SDD, Sapardi Djoko Damono, bisa jadi adalah 'harta berharga' untuk segala kalangan di Indonesia. Lahir di Surakarta 20 Maret 1940, bisa kita hitung sekarang beliau berumur 70 tahun, namun karyanya tak lekang waktu dan menyentuh setiap kalangan. Lihat saja apa yang ditulis adik-adik kita saat menyerahkah kado istimewa untuk sang kekasih. Lihat saja apa yang ditulis di lembar kartu undangan sepasang calon pengantin. Ya, tak jarang yang kita lihat adalah untaian manis dan romantis hasil karyanya yang sederhana. Dalam rentang masa dirinya sebagai penyair, SDD telah menelurkan 8 buku kumpulan puisinya: "Duka-Mu Abadi" (1969), "Mata Pisau" (1974), "Perahu Kertas" (1983), "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II Malaysia), "Hujan Bulan Juni" (1994), "Arloji" (1998), dan yang terbaru adalah "Kolam" (2009). SDD pun mahir membuat cerpen yang dibuktikannya dalam 2 buku kumpulan cerpen yaitu "Pengarang Telah Mati" (2001) dan "Membunuh Orang Gila" (2003). Tak hanya itu, ada beberapa karya hasil dia menerjemahkan di antaranya yang terkenal adalah "Lelaki Tua dan Laut" (1973) yang merupakan terjemahan dari novel Ernest Hemingway "The Old Man and The Sea". Dengan latar belakang pendidikan Sastra Inggris dari Universitas Gadjah Mada, karya terjemahannya "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis) semakin mengukuhkan dirinya sebagai salah satu dari jajaran penulis paling mengesankan -di hati saya-. Jujur, karya terjemahan beliaulah yang paling saya nikmati. Belum di tambah esai-esainya sebagai seorang akademisi dan budayawan.

Dalam Doaku Subuh ini Kau Menjelma Langit Yang Semalaman Tak Memejamkan Mata Yang Meluas Bening Siap Menerima cahaya Pertama Yang Melengkung Kuning Karena Akan Menerima Suara-Suara Satu bait inilah yang memperkenalkan saya padanya. Satu bait puisi dalam buku Hujan Bulan Juni yang sudah mulai lepek karena terlipat atau terhimpit ketika saya bawa tidur, yang penuh dengan coretan tangan saya untuk ikut memberi komentar di bawah puisi-puisinya, dan tentu saja penuh dengan tanda warna untuk menandai bahwa saya menyukai kalimat yang dituturkannya. Puisi yang berjudul "Dalam Doaku" itulah yang pertamakali menarik saya untuk terus menyimak tentangnya, mencari tahu apa saja yang terbaru dari dirinya, dan menikmati berbagai hal yang ditawarkannya dalam sebuah karya. Ada nuansa syahdu dan pasrah meski tetap penuh keyakinan dalam bait demi bait puisi yang bertutur bagai orang yang sedang berdoa. Masih ingat saat itu saya masih berumur 17 tahun, saat di mana sedang banyak-banyaknya tanya berkelebatan di kepala tapi tak mampu saya ucapkan. Puisi "Dalam Doaku" inilah yang membuat tanya di kepala ini saya ejawantahkan dalam baris-baris doa padaNya. Ya, baris-baris doa yang penuh pertanyaan, dan saya yakini jawabanNya pasti selalu benar. Seperti yang dikatakannya dalam bait kedua puisi ini: Ketika Matahari Mengambang Tenang Di Atas kepala Dalam Doaku Kau menjelma Pucuk-pucuk Cemara yang Hijau Yang Tak Henti-hentinya Mengajukan Pertanyaan Muskil Kepada Angin Yang Mendesau Entah Dari Mana
Benda-Benda Alam Mengabadi Bersamanya Ketika saya cermati dan mari silakan kita cermati bersama, ada yang mengabadi dalam puisi-puisinya. Kesetiaan SDD menggunakan benda-benda alam sebagai alat pengucapan sajak-sajaknya. Dalam rentang 40 tahun itu, kita akan selalu bertemu dengan kabut, bunga, embun, matahari, bulan , bintang, langit, rumput, pohon, ilalang, awan, ranting, sungai, laut, dan hujan. Ya, 40 tahun mulai dari buku pertamanya "Dukamu Abadi" sampai buku terakhirnya "Kolam". Kita bisa menikmati bagaimana hujan dia tuturkan dengan romantis dan penuh misteri dalam "Hujan Bulan Juni", bagaimana angin digambarkannya dengan misterius dan dingin dalam "Nocturno", dan bagaimana kabut digambarkannya begitu mengikat dalam "Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate". Ketika hal ini pernah ditanyakan padanya, dengan kesederhanaannya dia menjawab: “Yang terpenting adalah bukan apa yang diucapkan, tetapi bagaimana mengucapkannya (puisi). Bagi saya, sudah tidak ada lagi yang baru di dunia ini. Tema dalam puisi itu kan hanya merupakan pengulangan-pengulangan.” Ya, SDD tidak silau dengan kebaruan atau tren cara bertutur yang sedang mewabah, dia tetap menjadi penjaga "taman", ya taman kata yang memiliki berbagai bunga indah yang beragam warna, "taman" yang memang penemuannya. "Taman" yang memang diciptakannya dan menjadi ciri khasnya. "Taman" yang tak hanya si tua yang boleh bermain-main di dalamnya, tapi "taman" yang membuat si muda sekalipun betah berlama-lama berada di dalamnya. Oleh karena itulah, saya mengafirmasi pernyataan Niwan Dewanto dalam perayaan 70 tahun SDD di Salihara pada tanggal 26 Maret kemarin, bahwa SDD adalah salah seorang penyair yang mampu melepaskan karyanya dari bayang-bayang penyairnya. Ya, karya-karyanya seolah berlarian ke segala penjuru. Menyentuh yang muda, memeluk yang tua. Tak perlu berkerut kening membaca karyanya yang senantiasa dituturkannya dalam bahasa sederhana, namun tidak miskin arti dan makna. Kini biarlah kabut menutup kisah saya tentang sosoknya. Ya, kabut yang begitu indah, yang dia tuturkan lagi-lagi ah...ya lagi-lagi dengan sangat sederhana.

Seperti Kabut

aku akan menyayangimu

seperti kabut

yang raib di cahaya matahari

:

aku akan menjelma awan

hati-hati mendaki bukit

agar bisa menghujanimu

:

pada suatu hari baik nanti. Seperti yang dikatakan SDD bahwa sesungguhnya tidak ada yang baru di dunia ini, ya memang tak ada yang baru di bawah matahari, kreasi sesungguhnya hanya milikNya. Tulisan ini saya ikut sertakan pada lomba yang diselenggarakan oleh Lovusa (bulan April lalu), dan kado untuk 70 tahun dia (SDD) yang memancing sisi terhalus saya untuk menulis. gambar diambil dari google.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun