Mohon tunggu...
Syamsiah
Syamsiah Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Murah tapi Tak Murahan

12 Mei 2012   15:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:23 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Suatu waktu di akhir Juli 2011, aku berada di tengah-tengah masyarakat pelosok desa di Kabupaten (Kab) Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel). Di depan masyarakat yang kebanyakan umurnya kutaksir sekitar 40 sampai 80-an tahun ini aku berdiri tegap. Di tanganku, sebuah mic kudekatkan ke mulut, siap memperbesar volume suaraku yang akan mengucap kekata. Mungkin akan perlu waktu beberapa jenak tuk menuntaskannya nanti.

Aku mulai bersuara, mengawalinya dengan ucapan salam yang disambut riuh oleh mereka. Aku senang. Tapi tidak selanjutnya, saat aku mulai mensosialisasikan penggunaan Obat Generik Berlogo (OGB). Kebanyakan tak lagi memperlihatkan mimik serius. Dalam hati, cepat aku menarik kesimpulan: Masyarakat tidak tertarik mendengarkan atau membicarakan tentang obat, juga tentang jenisnya.

Sosialisasi ini sebenarnya adalah program kerja yang kubuat sebagai mahasiswi Fakultas Farmasi. Salah satu matakuliah, namanya Kuliah Kerja Nyata (KKN) mewajibkan aku dan mahasiswa profesi kesehatan Universitas Hasanuddin (Unhas) lain tuk mewujudkan bentuk pengabdian pada masyarakat, sebagai salah satu dari tiga poin Tri Dharma Perguruan Tinggi. Desa Marioriaja, sebuah desa di atas ketinggian gunung, jadi tempat yang dipilihkan untukku bersama 12 teman lain.

Masyarakat Desa Marioriaja sebagian besar tergolong masyarakat ekonomi lemah. Puskesmas jadi satu-satunya tumpuan mereka saat membutuhkan pengobatan medis. Sayang, kepercayaan terhadap obat-obat yang disediakan di puskesmas kian menyusut. Mereka lebih percaya akan kemanjuran obat yang diresepkan langsung oleh dokter, karena adanya istilah “paten” yang melekat.

Persepsi yang sangat keliru ini berbuah kepada semakin terpojoknya posisi OGB yang biasanya tersedia di puskesmas. OGB ini sendiri malah dicap sebagai obat kelas dua, obat untuk masyarakat miskin, obat tidak bergengsi, dan obat dengan mutu yang tidak terjamin dan tidak ampuh. Fenomena ini sungguh sangat memprihatinkan.

Tanpa disadari, hampir kebanyakan kita mulai dari orang terdidik sampai masyarakat awam, dari orang dewasa sampai anak kecil, dan dari kota sampai ke pelosok desa sudah terjebak dengan pengaburan makna obat generik ini.

Obat generik masih dianggap obat nomor dua oleh sebagian besar masyarakat. Nomor satu adalah obat paten. Benarkah obat paten lebih berkualitas dibandingkan obat generik?

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Obat generik adalah obat yang telah habis masa patennya,sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Ada dua jenis obat generik, yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik berlogo yang dipasarkan dengan merek kandungan zat aktifnya.

OGB merupakan program Pemerintah Indonesia yang diluncurkan pada 1989 dengan tujuan memberi alternatif obat bagi masyarakat, yang dengan kualitas terjamin, harga terjangkau, serta ketersediaan obat yang cukup. Dari sisi zat aktifnya (komponen utama obat), antara obat generik (baik berlogo maupun bermerek dagang), persis sama dengan obat paten.

Dari segi harga, OGB ditetapkan oleh Pemerintah agar terjangkau masyarakat. Harga OGB lebih ekonomis, berhubung biaya iklan atau promosi tidak sebesar obat generik bermerek. Sementara obat generik bermerek dijual oleh industri yang memproduksinya dengan biaya lain-lain (termasuk biaya iklan atau promosi) yang kemudian harus ditanggung oleh konsumen, dalam hal ini pasien.

OGB mudah dikenali dari logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan “Generik” di bagian tengah lingkaran. Logo ini menunjukan bahwa OGB telah lulus uji kualitas, khasiat dan keamanan sedangkan garis-garis putih menunjukkan OGB dapat digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat

Dalam sebuah pembahasan tentang obat dan kesehatan yang aku temukan di situs internet, diceritakan tentang terkesannya seorang eksekutif asal Jakarta yang mengalami kecelakaan di Dallas Airport, AS. Sebuah jarinya terluka parah. Ia segera dilarikan ke rumah sakit setempat. Saat menjalani perawatan, ia terkesan bukan main dengan sikap dokter dan manajemen rumah sakit di sana.

Bukan pelayanan ramah dan alat diagnostik serba canggih yang membuatnya terkesan. Pada saat membicarakan obat, dokter yang merawatnya menawarkan obat generik. Sikap seperti dokter di AS itulah yang kita harapkan dari dokter Indonesia dalam menangani pasien, utamanya yang terlihat kurang mampu. Dengan ide pemakaian obat generik dari dokter seperti itu, obat ‘murah’ ini akan lebih cepat memasyarakat.

Memang secara logika, jika kualitas obat generik berlogo sama dengan obat bermerek, buat apa memilih obat paten yang berharga jauh lebih mahal? Pemakaian obat paten hanya dibatasi pada obat-obatan yang memang belum ada turunan atau kopiannya. Dengan kesadaran seperti itu, tak heran jika pemakaian obat generik berlogo cukup tinggi di negara-negara maju. Karena itu tidak aneh jika di AS, dalam hal pengobatan masyarakat sudah generic minded. Ini karena orang Amerika sudah mengerti benar akan OGB.

Mari kita lihat realita di Indonesia. M Syamsul Arifin dari Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) dalam sebuah seminar tentang OGB pada 2007 silam mengungkap fakta, Pemakaian obat generik di Indonesia tidak rasional. Mayoritas masyarakat banyak yang tidak mampu, tetapi faktanya pemakaian obat generik sangat kecil, hanya 10 persen dari total pasar farmasi. Sedangkan 90 persen pasar farmasi dirajai oleh obat merek dagang.

Konsumsi obat generik di Indonesia ini lebih kecil dari negara-negara tetangga. Bahkan di sejumlah negara maju, pemakaian obat generiknya hampir mencapai 50 persen per tahun. Aneh, di negeri yang   populasinya besar dan kurang mampu malah pemakaian obat generiknya kecil. Padahal obat generik sudah diakui khasiatnya di dunia international.

Revitalisasi penggunaan obat generik berlogo yang saat ini tengah gencar dilakukan pemerintah, pastilah akan bernasib sama jika akar permasalahan dalam penggunan obat generik ini tak tersentuh. Lantas, apa akar dari permasalahan ini semua? Jawabannya tak lain adalah persepsi keliru masyarakat terkait obat generik ini.

Upaya yang paling tepat saat ini adalah bagaimana menanamkan kembali pengetahuan yang benar tentang obat generik kepada masyarakat. Jika ini terwujud, maka pasien yang selama ini di depan dokter sebagai objek penderita yang betul-betul menderita dan tidak tahu apa-apa dengan obat, lambat laun akan berubah menjadi kritis. Sosialisasi perlu, bahkan dalam tingkatan kita yang masih mahasiswa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun