Mohon tunggu...
Ancha Sitorus
Ancha Sitorus Mohon Tunggu... -

saya lahir di siantar dan geograf. pencinta travelling dan hal-hal sosial

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menapak Kota di Bibir Luapan Danau Toba

20 Januari 2011   16:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:21 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"wak uteh" atau "ondak komanao kau jang" , kata-kata yang mengingatkan kita pada satu kota di pesisir timur sumatra utara dengan sajian kerangnya yang khas. Tak hanya kerang, banyak hal lain yang disajikan dan menarik untuk diulas. Aku mau menceritakan sedikit pengalamanku di kota ini, itung-itung bisa jadi referensi kawan-kawan yang mau melakukan perjalanan di kota kerang ini. Dimulai pada hari selasa (12/01/10) aku bergegas meninggalkan punggung timur bukit barisan menuju medan pada pukul 7 pagi. tak disanghka, kecelakaan di jalan membuat aku harus berjalan sekitar 10 Km dari Doulu di daerah Berastagi menuju Sibolangit (cita-cita dari dulu, baru kesampaian.. wkwkwkwk). Akhirnya dengan bersempit-sempit di bus L-300 aku sampai di Kota Medan. Bergegas aku bersiap dan menuju stasiun besar KA Medan membeli tiket Kereta Api ekonomi jurusan Tanjung Balai seharga Rp.14000. Namanya kelas ekonomi, standard Indonesia maka di dalamnya tak hanya penumpang saja pengamen solo, duo, group sampai team,pedagang ayam goreng, mie pecal, air mineral, mie cup, buah-buahan, buku, mainan anak-anak, keripik, lemang, dodol, jilbab, sampai gantungan baju tumpah ruah masuk silih-berganti masuk dari satu stasiun ke stasiun lain numpuk jadi satu pada kereta jenis ini. Berangan-angan tiba pukul 22.00 tapi kereta malah ngaret sampai pukul 23.00 plus ditemani banyaknya nyamuk yang mengiringi kereta saat berjalan lambat dari Kisaran menuju Tanjung Balai. Sampai Kisaran kita masih mendengar kata "mau kemana" dalam bahasa yang biasanya. Tapi sesudahnya kata "mau kemano", "wak ni lah", datang silih berganti.. (logat asli orang tanjung balai) khas Melayu Asahan. Tapi jangan salah, selain suku melayu daerah ini juga di dominasi oleh suku batak yang bermarga, sebut saja Panjaitan, Sitorus, Sinambela, dan lainnya yang juga berlogat melayu pesisir.  Sekedar Informasi, begitu kereta sampai (bahkan ketika masih berjalan pelan sebelum berhenti) puluhan tukang becak datang silih berganti menyerbu tiap gerbong, aneh memang tapi ya begitulah. Harus bisa memilih yang terbaik, tampilan becaknya juga tak seperti becak motor kebanyakan. Dentuman house musik akan mengiringi setiap jalan yang dilalui, sebagai penumpang yang lagi stress bisalah ajeb-ajeb sebentar. Kapasitas angkutnya juga lebih wah lagi, bukan cuma 3 bahkan 7 orang juga bisa di tampung (Fantasti untuk ukuran becak), tapi tetap harus bersempit sempit. biasanya makin banyak orangnya, maka ongkos becaknya juga akan bertambah. Tarifnya bervariasai, tapi rata-rata di atas 5000 rupiah. Malam pertama ini aku mengunjungi jembatan terpanjang di Sumatra Utara yang menghubungkan Tanjung Balai dengan Sei Kepayang di Asahan. Sekitar pukul lewat 00.00, aku kesana naik becak dengan tarif 5000 rupiah dari pusat kota, maka kita akan disuguhkan oleh hamparan lampu berkilauan di sepanjang aliran sungai asahan yang berwarna-warni. Jam segini memang lalu lintas sudah lengang, jadi bebas berekspresi kalau mau narsis di atas jembatan ne. Kerlap-kerlip lampu yang memantul dari permukaan sengai menambah kerennya pemandangan kota dari kejauhan. Tapi harus hati-hati juga, ada sebagian orang usil yang terkadang menggangu mulai dari Pemuda Setempat yang mengintrogasi dan tak jelas apa juntrungannya, sampai tukang becak yang penumpangnya semua waria. Sehingga tetap harus waspada penuh dengan kemungkinan tindak kejahatan saat tengah malam begini. Dari jembatan dilanjutkan jalan kaki menyusuri kota melihat bangunan tua pada malam hari. Dari semua, bangunan tua di depan kantor walikota memiliki karakter tersendiri bagiku. Emang kesannya biasa aja, tapi pas di foto kesan tua yang ditimbulkannya sungguh sangat eksotis (mirip lawang sewu lah). Bagi yang mau memanjakan diri dengan jajanan, bisa datang ke jalan Sudirman yang menyediakan fasilitas ini dimulai dari sore hari. berbagai menu di tawarkan tapi bukan menu khas kota ini melainkan menu umum seperti mie goreng, bakso, dsb. Kalau mau menu khas bisa coba makan "pisang kejepit" di seputaran lapangan merdeka dengan harga 5000 rupiah per porsinya. Pisang ini disajikan dengan fla santan dan nangka (yummy kali lah). Kalau mau sea food yang masih segar, coba aja datang di jalan sisingamangaraja, mulai dari ikan pari, senangin, udang galah, kembung, dsb. menu ini disajikan dengan sambal minimalis yang seger sekali. sudah cukuplah makan ditemani dengan air teh manis yang harga rata-rata 15.000 rupiah per paketnya (makanan+teh manis). Besoknya hari Rabu (13/01/10) aku bersiap melakukan perjalanan keliling muara naik boat dari bagan dekat jembatan tadi malam. Menurut cerita penduduk sekitar, pinggir sungai asahan tersebut dulunya lebar, namun dilakukan penimbunan sehingga luas arealnya berkurang sejauh 10 meter dari sebelumnya. Sewa perahu seharga 50.000 rupiah selama satu jam dan rute tertentu. menapak pulau hasil endapan di muara sungai merupakan hal yang sangat keren sekali. puluhan burung liar terbang dan bersarang di sekitar pulau kecil tersebut, nelayan yang pulang dari melaut, sampai pasiran yang menarik untuk di singgahi. Harapan kedepannya, kawasan ini akan jadi konservasi burung liar di sekitar muara sungai, karena di beberapa titik sudah di bangun rumah singgah oleh warga sekitar. Di daerah ini banyak terdapat elang muara, bangau, sampai camar. Pasiran sendiri merupakan tempat yang cocok untuk mandi-mandi melepas penat dengan panjang sekitar 30 m, hamparan pasir putih ini menanti untuk ditapaki. semua tempat yang disinggahi sudah termasuk dalamn ongkos perahu yang tadi di bayarkan di atas. Selain itu ada juga Panton di Kecamatan Tanjung Balai Asahan yang berjarak selitar 5 Km dari pusat kota dan ditempuh dengan becak seharga 10.000 rupiah. Panton ini sebenarnya merupakan dermaga lepas pantai di muara yang langsung berbatasan ke selat malaka. tapi karena pemandangannya lumayan, maka jadiu objek wisata dadakan. Duduk-duduk di pinggiran panton dapat dilakukan pada pedagang makanan kecil sambil menikmati aktivitas nelayan pada sore hari. Untungnya hari ini aku melihat 2 ekor lumba-lumba yang berenang menuju selat malaka. Dalam hati aku bertanya "ne ikan darimana nyasar?", karena ikan lumba2 air tawar cuma ada di sungai Mahakam untuk Indonesia. Curi-curi dengar dari percakapan warga, ternyata ikan itu ditangkap untuk di sembelih dan dijadikan obat kuat oleh oknum tertentu, darahnya sendiri juga diminum dan dagingnya dijadikan makanan. Pantas saja di beberapa bagian tubuhnya terlihat putih, mungkin masih terluka akibat penangkapan sebelumnya. semoga saja lumba-lumba tadi masih bisa survive di selat malaka. besoknya aku harus pulang untuk melakukan penaklukan berikutnya, tapi perjalananku kali ini memberikan banyak pengalaman. Tertarik mencoba juga? semoga tulisan ini bisa jadi referensinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun