Sahabatku, aku tahu belakangan ini kau merasa menjadi orang lain dan terpuruk di jalan yang mulai kau bangun sendiri. Bukannya aku mau ikut campur, tapi ini soal seberapa jauh kau melangkah belajar mewujudkan mimpimu dan menjadikan pengalaman sebagai pelajaran berharga. Seperti datangnya pagi, saat kau mulai membisikkan doa-doa yang menggetarkan dunia yang dibaca dengan sepenuh asa tanpa sisa. Bukankah sebagai sahabat, sudah sepantasnya kita selalu berbagi..? Baiklah, kumulai ceritaku, tapi janji kau mendengar sedikit cerita perjalananku ini sepenuh hati. Tidak seperti Mario teguh yang menyemangati dan berapi api, semoga cerita sederhanaku ini bisa memberikan manfaat bagimu nanti.
Sahabakut, akan ada bahagia setelah kesedihanmu berakhir, seperti stadhuis kota tua di belantara beton Jakarta dan diantara sembilan juta manusia. Jan Pieterszoon Coen memulai mengawali ceritanya dengan genggam kuasa di bumi Batavia, namun semua berjalan melalui takdirnya kawan, dimana semua jenis desir mulai diukir. Sampai sekarang dia masih tetap terus mengalir, seperti bahagia yang menghapus jejak pedih dan sunyi sekarang kini. Kita tidak bercerita tentang Maria Antoinette atau Louis XVI, tapi ini tentang ribuan warga biasa yang meregang nyawa di Stadhuisplein kawan. Tentang jeritan seribuan warga yang disekap dibawahnya, tentang guillotine dan tiang gantung yang menuntun kembara manusia hingga sampai di perhentian terakhirnya. Â Tapi semua sudah berubah sekarang ini kawan, tak ada jerit tangis atau teriak pilu menjelang kematian lagi disana. Harap sudah disandarkan, seperti setitik hangat penyembuh lebam bekas luka lama. Anak kecil sekarang disana berlari riang, semua sudah diganti menjadi ratusan ekspresi bahagia. Tentang sedihmu, lupakanlah. Cukup jadikan dia cerita sebagai pengingat yang menjadikanmu lebih kuat dan bersyukur menjalani hidup kedepannya. Di stadhuis aku menemukan pelajaran berharga, pada masanya semua sakit dan kepedihan akan menemukan muaranya.
Sahabatku, kemarin juga kau bercerita tentang keterasingan yang semakin membelenggu langkahmu. Kuawali ceritaku sejak diatas bumi Kolaka, saat senja dan matahari tua menyudahi kisahnya. Saat langit berubah menjadi jingga dan  saat tabah merenda asa. Ku jejakkan kakiku di teluk vosmaer di tenggaranya  Celebes. Kususuri belantara Nipa-Nipa sampai ke utaranya Konawe, disana perjalananku bermula. Aku seperti berjalan panjang menyusuri masa lalu, saat pagi berhujan dan embun membingkai ranting angsana. Kabut berguguran diantara pinus basah, sama seperti tangisan bidadari yang baru saja kembali memungut mimpi. Semua dibingkau seperti pugura, rumah, jalan dan kehidupan yang tak tergerus modernisasi. Diteluk yang sama, dimana orang Bajo dan Bugis bermigrasi besar besaran dan mulai membangun ceritanya disini walau dengan serbuan seratusan tobelo. Disini aku menemukan cerita tentang suatu kaum yang mengisnpirasiku, Tolaki namanya. Kaum yang terlebih dahulu datang dan menempati teluk ini, kaum mencuri perhatianku untuk kupelajari. Tak ada informasi yang memadai yang aku dapatkan memang. Namun ada satu yang aku ingat, "Inae konasara iye pinsara, inae liasara iye pinakasara,". Walaupun orang berniat jahat kepada kita, sebaiknya kita tetap berpikiran baik. Kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan juga. Dari orang tolaki aku belajar, tentang tuan yang menjadi tetamu di rumahnya itu. Semuanya dibungkus dengan indah, semakin jauh kita melangkah, semakin jauh pula kita kembali. Aku rindu semangkok sinonggi dengan aroma pagi  wangi yang menguar dari basah tanah, dan sekelumit doa tentang syukur yang demikian megah.
Satu lagi tentang keikhlasan, aku akan membagikan ceritaku. Ini ceritaku di Borneo di pinggiran sungai Kahayan yang dinamakan Balanga. Aku bertemu teman orang Ngaju dan Melayu Kotawaringin disini. Aku masih ingat suara kelotok di tengah sungai dan duduk sore hari di tepian sungai saat angin senja mulai menitipkan kenangan. Tuhan selalu menyayangimu dengan santun. Pelajaran dari keikhlasan saat memberi, aku dapatkan disini. Berilah sesuatu karena memang kau ingin memberi dengan tulus, dan sebaliknya kau terima semua dengan senang hati semua pemberian tulus yang dihadiahkan kepadamu. Karena belahan bumi yang berbeda, terkadang kita lupa sahabatku. Ada sampulun ketika kau menolak sesuatu, dan harus memegangnya dengan tulus. Mungkin disini kita sudah alpa akan artinya keihkhlasan dalam memberi dan menerima. Di Pulang Pisau aku bercerita banyak hal tentang bagaimana memperbaiki niat dalam satu perjalanan melintasi dua zona waktu digelap malam diantara keasingan yang begitu bersahabat. Sampai kau lupa kalau kau sebenarnya seorang diri ditanah Nagara Dipa mulai dari Barito sampai Kahayan. Aku rindu kembali kesana untuk sekedar kembali bercengkrama. Diatas kelotok aku diajak meminum air Kahayan, ya satu saat aku kesana lagi. Mungkin juga kau mau ikut serta, boleh juga kurasa. Tentang keikhlasan, diawali dari niatmu dulu. Ikhlas itu bukan tentang sebera sanggup kau memberi sesuatu, tapi juga bagaimana kau menerima sesuatu dengan tulus.
Sahabatku, ada banyak ceritaku lagi. Bukan maksudku mengguruimu, tapi  ini cerita pelajaranku di alam semesta yang aku hidupi dan aku hidupkan. Besok kita sambung lagi cerita kita. Ada yang mau kau tanyakan mungkin, tanyakanlah. Aku siap mendengar semua ceritamu.
(Terima kasih buat semua teman dan cerita di Jakarta, Kendari dan Palangkaraya)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI