Banyak hal yang masih sampai saat ini menjadi hiruk pikuk permasalahan dalam dunia kebudayaan, salah satunya yakni menipisnya rasa sadar akan kepemilikan.
Tentu, yang demikianlah dapat menjadi ancaman besar bagi siapa saja yang bernaung didalamnya. Sejak lahir dan bertumbuh kembang, kita sudah tersajikan apik dari segi ilmu pengetahuan. Bak padi yang siap panen, kadang tanpa mengetahui prosesnya hingga menguning.
Dari ujung barat hingga ujung timur, kawasan Indonesia teramat kaya akan warisan adat dan budayanya. Tak terkecuali replika surga kecil, (begitu kami menjulukinya) berada di timur bumi pertiwi, sebuah pulau yang dikenal bernama Samawa atau Sumbawa. Berasal dari kata Cumbava, diketahui pulau Sumbawa pertama kali disebutkan oleh para pelaut Portugis.
Asal usul nama Cumbava hingga Samawa dan Sumbawa disebutkan berarti "Jeruk Purut", yang bagian dari sejarahnya tertera dalam buku berjudul "Domino de Mon Plaisir" pada tahun 1767.
Terletak dibagian timur Provinsi Nusa Tenggara Barat, perabadannya yang unik menjadikan Sumbawa salah satu destinasi wisata budaya yang layak untuk ditelusuri keberadaanya.
Sejarah literasi selalu komplek jika dibahas.
Konon, sebelum mengenal tulisan manusia pada zaman prasejarah umumnya berkomunikasi mengunakan bait kata dan bahasa isyarat saja. Namun, seiring berjalannya waktu manusia mulai menggunakan alat komunikasi yang beragam berupa lambang atau simbol yang diukir pada batu-batu bahkan dedaunan.
Kali ini, ada yang menarik untuk ditelisik yang telah lama menjadi kekhawatiran segelintir kaum muda. Lagi-lagi, warisan budaya literasi yang hampir punah, terabaikan dan terlupakan oleh beberapa bahkan hampir seluruh genarasi lokal. Jika Jawa memiliki aksara lokal berupa Sanskerta, maka Sumbawa mempunyai aksara lokal yaitu Satera Jontal.
Satera berarti sastra dan Jontal berarti lontar. Dinamakan Satera Jontal karena simbolnya di ditulis dalam sisir daun lontar dengan menggunakan bara api. Daun lontar adalah daun yang banyak tumbuh secara liar di hutan-hutan Sumbawa sehingga sangat memudahkan bangsa Samawa kuno dalam penggunaannya.
Menurut buku yang ditulis oleh para sejarawan sumbawa yakni A Hijaz HM, ABD. Gani BA dan Hassanudin terbitan tahun 2002 dalam buku “Satera Jontal, Pengenalan dan Penulisannya” disebutkan bahwa terdapat 19 huruf dasar dari Santera Jontal itu sendiri.
Siring perkembangan zaman, Satera Jontalpun menjadi suatu pelajaran wajib yang masuk dalam kurikulum muatan lokal diberbagai sekolah di tana' Samawa (daerah Sumbawa). Namun, lambat laun eksistensinya semakin memudar. Entah alasannya karena ditelan budaya baru atau karena banyaknya generasi yang cukup apatis dengan budaya sendiri.