Tepat pukul lima sore, saya beranjak keluar rumah membawa kotak Tupperware. Meninggalkan sesaat deretan telop yang belum juga saya selesaikan. Padahal, sudah lewat empat jam dari deadline yang ditentukan.Â
Saya menuju ke tukang gorengan yang jaraknya  hanya beberapa langkah dari rumah. Dua biji bakwan dan dua biji tahu isi saya letakan di Tupperware. Tak mau membeli banyak-banyak karena buka hari pertama seorang diri. Kakak saya dan anaknya buka puasa di kantor.
"Berapa, Bu?"
"Rp5,500."
Owh, harganya sudah berubah batin saya. Biasanya, hanya Rp4000 untuk empat biji gorengan. Tak apa, toh, memang harga-harga bahan pokok pun merambat naik. Citayam sore itu masih disiram hujan. Kalau sebelumnya hujan petir yang menyeramkan, beranjak petang hanya menyisakan rinainya saja.Â
Saya langsung pulang, meletakan gorengan di meja samping laptop, kemudian langsung ke wastafel untuk cuci tangan. Tak ada persiapan lebih-lebih. Masih ada satu potong ayam goreng dan sedikit sambal sisa sahru pertama. Pikir saya, makan itu saja cukup. Sudah  lama ingin belajar jika bulan Ramadan itu makan apa yang ada, tak perlu berlebih.
Saya kembali menghadap laptop. meneruskan kembali baris-baris telop subtitle yang rasanya semakin saya hadapi, bukan semakin pendek, tapi justru semakin panjang. Semakin emndekati maghrib, saya semakin jenuh menghadap laptop. Sampai akhirnya, azan maghrib berkumandang. Alhamdulillah...
Saya meraih gelas, mengisinya dengan air mineral dari galon besar. Setelah minum, saya ambil beberapa biji kurma. Mengunyahnya sebelum saya menyantap gorengan. Puasa hari pertama, alhamdulillah bisa terlewati.
Di tengah mengunyah, pikiran saya menerawang ke keadaan setahun yang lalu. Masa-masa awal Pandemi. Bahkan, di grup keluarga saya sempat melontarkan kalimat seperti ini,
"Mbak, tahun lalu saya menganggur, ya? Puasa di rumahmu. Saya tengah mengingat-ingat ini."
Tentu saja, chat tersebut ditulis dalam bahasa Jawa Ngapak. Hehehehe