Mohon tunggu...
Anazkia
Anazkia Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Fansnya Anuar Zain, suka baca buku, suka baking, acap berkicau pendek di Twitter @anazkia dan kadang di anazkia.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemenpora Menyumbang 2 Milyard ke Rumah Dunia

29 November 2011   16:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:02 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yahoo Messenger saya ONkan, tapi dengan status invisible. Di saat berselancar ke sana kemari, sebaris e-mail terlihat di kanan bawah dengan subjek judul, "Kemenpora Menyumbang 2 Milyard ke Rumah Dunia. Saya penasaran. Sebetulnya, antara percaya dan tidak saya langsung menuju folder e-mail milis wong Banten di mana saya tergabung sejak beberapa tahun lalu. Meski hanya sebagai silent reader. Email dari Mas Gol A Gong saya baca, Sejak SMA (1980) Gol A Gong, pendiri Rumah Dunia, pusat belajar masyarakat di Kampung Ciloang, Serang Banten, memimpikan memiliki gelanggang remaja seperti di Bulungan, Jakarta atau di Jalan Merdeka, Bandung. “Rasanya bahagia melihat para pemuda bisa menyalurkan bakatnya di sebuah tempat berama gelanggang remaja,” Gong menerawang. Setelah berhasil membebaskan tanah seluas 3000 m2 dengan cara menggalang dana di milis-milis,  facebook dan twitter, kini Kemenpora membantu mengucurkan dana hibah sebesar Rp. 2,042,000,000,- (Dua Milyar Empat Puluh Dua Juta Rupiah). “Peruntukannya untuk membangun sarana gedung,” kata Dr. R.Sihadi Darmo Wihardjo, Staf Kementerian Pemuda dan Olahraga. "Di atas tanah itu akan dibangun gedung kesenian, lapangan basket, perpustakaan tertutup, kantor Gong Publishing, ruang-ruang kelas untuk kelas menulis, bengkel untuk menyablon, percetakan, cafe untuk meeting point, show room buku." Gong tidak menyangka, jika hal ini bisa terjadi. Pada Selasa 29 November 2011, sekitar pukul 11:30 WIB, di lantai 7 ruang  Deputi Bidang Kemitraan Kemenpora, Gedung Graha Pemuda, Jakarta, menandatangi pencairan dana itu. “Kegiatannya Berupa Bantuan Pembangunan Sentra Pemberdayaan Pemuda,” tambah Sihadi. “Saya gemetar, dua milyar,” aku Gong. “Sungguh, semua serba dimudahkan,” tambah Gong. "Setelah selesai penandatangan, saya menelepon Emak di rumah. Saya kabarkan kebahagiaan ini. Emak menangis! Emak bilang, biarlah Banten melupakanmu, tapi Indonesia tidak tidur!" Lebih menggembirakan lagi, Sihadi menjelaskan, bahwa karakter Rumah Dunia tidak akan dihilangkan. “Back ground saya penulis, maka nanti akan focus ke Penerbitan. Rumah Dunia nangti akan jadi pabrik kata-kata. Ada produk buku, kaos kata-kata, Koran atau tabloid. Gong Publishing yang akan dikuatkan. Nanti akan merekrut potensi pemuda di lingkungan Ciloang untuk berbagai posisi di penerbitan, misalnya distribusi, sirkulasi, lay outer, editor, dll. Pokoknya, Gong Publishing akan jadi perusahaan besar! Doakan!” Sihadi menegaskan, bahwa ada 7 titik yang akan dibangun kompleks integrasi berupa fasilitas pelayanan. “Tidak patronik, harus sama sesuai dengan keinginan kami. Tidak begitu. Rumah Dunia dengan latar belakang kepenulisan, itulah yang akan kami maksimalkan!” Intinya, kegiatan ini berangkat dari natural problem, objektif dan realistis. “Rumah Dunia diharapkan sebagai laboratorium berprosesnya potensi pemuda yang ada di lingkungan Rumah Dunia.” [caption id="attachment_145543" align="aligncenter" width="672" caption="Hidup itu mudah, tapi hidup yang berarti itu tak mudah"][/caption] Saya tercengang membaca e-mail tersebut, anggapan saya bahwa berita itu fiktif ternyata salah. Dan berita itu betul-betul nyata. Lantas ketika membuka facebook, di dalam home facebook saya, ada foto Mas Gong yang sedang menandatangani sebuah surat di sebuah ruangan. Saya melihatnya, ternyata, tulisan di bawahnya adalah sama seperti kalimat-kalimat yang saya baca di e-mail milis. Ah, saya jadi teringat kejadian beberapa tahun lalu, awal tahun 2002 Ahad, sore itu di awal tahun 2002. Bersama dengan seorang teman saya menuju Serang, menurut petunjuk Mbak Tias, dari Cilegon kami harus menaiki bus dan turun di Patung. Kemudian menaiki becak dari Patung-Serang, menuju Ciloang, Rumahnya Mas Gol A gong. Setelah sebelumnya saya menelpon Mbak Tias beberapa kali dari sebuah wartel. Kami diantar menuju rumahnya Mas Gol A Gong, awal kedatangan saya ke rumah Mas Gong adalah untuk mengunjungi perpustakaannya, Pustakaloka Rumah Dunia (kini menjadi Rumah Dunia). Tapi tukang becak mengantarkan kami tepat di depan rumah Mas Gol A Gong. Kehadiran kami diterima oleh Mbak Tias. Dengan senyum ramahnya, Mbak Tias menyambut kami. Dan langsung menyuruh kami menuju ke belakang rumah. Melalui pintu samping, kami menjinjing sandal masing-masing menuju pendopo belakang. Akhirnya, saya bisa melihat dengan kepala sendiri apa yang ingin saya lihat, Pustakaloka Rumah Dunia. Di pendopo belakang, sudah berkumpul beberapa teman-teman lain. Seingat saya, teman-teman yang berada di situ dan sedang berdiskusi adalah, Ibnu, Najwa, Endang Rukmana, Adkhilni, Krisna, Mahdi, Muhzen Den, Kang Kizing juga saya dan seorang teman saya, Mutmainah. Sementara tak jauh dari pendopo, Kang Firman sedang duduk di kursi dengan sebuah gitarnya, Mas Gong dan Mas Jaiz terlihat sedang asyik berbincang. Itulah sore pertama saya terlibat dan masuk ke Rumah Dunia, minggu-minggu selanjutnya saya masih sering berkunjung. Belajar bersama tentang dunia fiksi dan nonfiksi tentang dunia kata dan merangkai kata juga tentang dunia baca dan bercerita. Setiap minggu sore, saya dan beberapa teman duduk melingkar atau terkadang lesehan berdiskusi bersama Mas Gong. Tentunya, keadaan Rumah Dunia yang dulu tak seperti sekarang yang sudah semakin luas.  Bahkan, kadang saya dengan beberapa teman rela berjalan kaki menuju Ciceri dari Ciloang. Adalah kenangan indah, ketika kehadiran saya ke Serang ada kalanya dengan uang pas-pasan. Pas sampai di Serang, uang saya habis. Ibnu, yang kebetulan waktu itu menjadi volunteer pertama di rumah dunia menjadi todongan pertama untuk kami pinjamkan uang (saya dan Najwa) Pernah, suatu sore setelah diskusi dengan penulis (seingat saya Syamsa Hawa dan Adzimatunsiregar, anaknya Teh Pipiet) saya kehabisan ongkos. Pun dengan Najwa, ia tak memiliki ongkos ke Ciceri. Karena sudah malam, kami tak lagi berjalan melewati berbagai kampung. Akhirnya kami meminjam uang ke Ibnu, Rp.5000. Dan minggu depannya ketika uang itu dikembalikan, ia menolak. Terimakasih Ibnu... Baru saja, saya membaca berita tentang sumbangan Kemenpora saya ikut bergembira, padahal saya tak lagi berada di Rumah Dunia, padahal saya tak lagi belajar di sana, tapi saya masih sebagian dari mereka menjadi bekas atau murid yang pernah belajar di sana. Selamat buat Mas Gol A Gong dan kawan-kawan atas kerja kerasnya. Pak Imam B Prasodjo atas usulannya, DAS AlBantani atas rancangan desain Gelanggang Remaja. Sekali lagi, selamat! [caption id="attachment_145544" align="aligncenter" width="604" caption="Foto kenangan jadul :D"][/caption] Adanya koleksi foto jadul. yang lain foto2 tahun 2010 ada di sini :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun