Tanjidor merupakan warisan budaya tak benda, salah satu orkes kesenian Betawi yang dipentaskan dalam acara hajatan atau perkawinan masyarakat budaya Betawi yang saat ini mengalami penurunan akibat lahirnya aliran musik modern.Â
Meskipun demikian, kesenian ini mengandung nilai-nilai estetika, nilai sosial budaya, menghormati, cinta tanah air, dan sebagai sarana hiburan untuk penikmat musik tanjidor itu sendiri.Â
Kesenian tanjidor menggunakan alat musik Barat terutama alat musik tiup. Tanjidor sendiri berawal dari kata tanji yang artinya menabuh. Karena yang ditabuh adalah tambur yang berbunyi dor dor dor, maka digabunglah menjadi tanjidor. Baik dari sejarahnya, Tanjidor adalah permainan musik pukul yang populer di kalangan masyarakat Betawi.Â
Berasal dari kata tangedor yang berarti seseorang yang memainkan alat musik senar. Tradisi tanjidor berawal dari kebiasaan orang portugis memerintahkan para budaknya menghibur mereka dengan permainan musik. Kejemuan dan kebosanan mereka menghadapi musim tropis tersembuhkan oleh para budak yang memainkan musik dari daerah asal para budak itu dengan instrumen musik Eropa. Â
Alat musik yang  biasa mereka gunakan seperti klarinet, terompet, terompet Prancis, kornet. Semua ini merupakan alat musik tiup, namun ada juga tambur Turki.Â
"Pada awalnya dimainkan lagu-lagu Eropa karena mereka main pada waktu pesta dansa, polka, mars, lancier, dan lagu-lagu parade, tetapi lambat laun dimainkan juga lagu-lagu dan irama-irama yang khas Betawi", tulis Paramita R Abdurachman. Ketika para budak itu dimerdekakan, mereka menjadi kelompok-kelompok musik amatir yang menamai diri menjadi tanjidor.Â
Dalam perkembangannya tanjidor juga memainkan keroncong, salah satu musik pengaruh Portugis. tahun 1950-an, seorang wali kota di Jakarta melarang permainan tanjidor. Saat itu seperti dicatat, Paramita R Abdurachman, suara dor-dor dari tambur Turki itu dianggap mengganggu istirahat siang warga Menteng.Â
Bagaimana perkembangan tanjidor sampai menjadi musik jalan, menurut Ernst Heins, seorang musikolog Belanda, yang mengadakan perekaman bersama dengan team Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1973 dan menilai musik rakyat pinggiran kota. Ia berpendapat bahwa dalam hal ini harus di tinjau cara kehidupan pendatang Eropa yang bermukim di Indonesia.Â
Sampai pada awal abad ke-20 rumah tangga mereka penuh dengan budak yang beraneka suku, malah beraneka bangsa dan warna. Selain itu sejarawan Belanda, F De Haan mengatakan tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kompeni. Hal ini juga ditegaskan oleh Mona Lohanda. Di abad-18 kota Batavia, dikelilingi benteng tinggi dan tidak banyak tanah lapang. para pejabat tinggi membangun Vila diluar kota Batavia. Vila-vila itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis.Â
Dan disitulah banyak terdapat budak. Mereka mempunyai keahlian dalam memainkan alat musik. alat musik yang mereka mainkan antara lain klarinet, piston, tenor, trombon, bas trompet, bas drum, trambun, dan simbal. para budak ini bertugas untuk menghibur tuannya. Tahun 1860, perbudakan dihapuskan. Para budak yang merdeka dan dapat bermain musik pun berinisiatif membentuk perkumpulan musik, yang kemudian masyhur dengan nama Tanjidor.
Sumber: