Mohon tunggu...
Anatasia Wahyudi
Anatasia Wahyudi Mohon Tunggu... Freelancer - i am dreamer!

Ordinary people and stubborn

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Apakah Psikotes Efektif dalam Perekrutan Karyawan?

2 September 2022   05:56 Diperbarui: 2 September 2022   05:59 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat melamar pekerjaan, perusahaan biasanya memberikan psikotes. Salah satu jenis dari psikotes adalah tes kepribadian. Tes kepribadian ini bertujuan untuk mengukur perilaku individu dan diaplikasikan pada proses rekrutmen dan evaluasi karyawan.

Banyak orang yang gagal mengikuti tes tersebut. Pertanyannya apakah tes tersebut efektif?

Mengutip Fast Company, rekan penulis Primed to Perform, How to Build the High Performing Cultures Through the Science of Motivation, Neel Doshi menyampaikan, masalah terbesar dengan tes itu adalah ketika perusahaan mempersenjatai mereka. Yakni, ketika hasil tesnya hanya untuk pembenaran atas kemajuan atau kemunduran mereka di perusahaan.

Entah itu  mendapatkan promosi, mendapat tugas dengan tugas penting, atau mendapatkan lampu hijau untuk memimpin proyek ambisius.  Pemikiran semacam ini malah bisa menghambat bertumbuhnya pola pikir di antara karyawan dan secara implisit mendorong kesalahan. Malahan, bisa mengarah ke lingkungan tempat kerja yang beracun.

Sehingga, justru dapat mencegah karyawan berusaha meningkatkan dan tumbuh, dan mengirim pesan bahwa kemampuan mereka untuk melakukan sesuatu cenderung statis ketimbang kemampuan mengasahnya dari waktu ke waktu.

Seperti yang pernah profesor psikologi Art Markman katakan, kepribadian adalah faktor yang dapat memotivasi orang untuk bertindak, tetapi bukan satu-satunya faktor.  Art berkata, "Seseorang yang mengungkapkan keinginan kuat untuk mengambil peran tertentu kemungkinan besar akan mempelajari keterampilan dan kebiasaan baru yang akan memungkinkan mereka untuk berhasil dalam peran itu, bahkan jika karakteristik kepribadian mereka menunjukkan bahwa mereka tidak cocok untuk pekerjaan itu.  Motivasi internal untuk sukses sering kali merupakan kekuatan yang lebih kuat daripada motivasi yang diberikan oleh karakteristik kepribadian".

Neel juga berpendapat, perusahaan menghadapi risiko bias ketika melakukan tes kepribadian dalam proses rekrutmen, terutama dalam hal keragaman pemikiran.  Ciri-ciri kepribadian tertentu tidak relevan dengan kinerja pekerjaan.  Tetapi jika manajer perekrutan percaya tes ini benar, maka mereka mungkin kehilangan bakat yang tidak sesuai dengan tipe kepribadian. Perusahaan akan kehilangan keterampilan, motivasi, dan atribut lainnya membawa banyak nilai yang tidak tercakup dalam tes itu.

Neel percaya jika tes kepribadian lebih baik menjadi alat motivasi daripada alat perekrutan.  Artinya, begitu seorang kandidat mulai bekerja, tes ini harus menjadi alat untuk melakukan percakapan yang aman tentang preferensi alami.

Neel Doshi juga menyebut, bisnis sering melompat ke tes kepribadian karena tampak seperti peluru perak. Kelihatannya mudah untuk mengelompokkan seseorang, namun ketika sebuah perusahaan tidak meluangkan waktu untuk memikirkan kebutuhan sebenarnya untuk menciptakan budaya kinerja tinggi, mereka akhirnya dapat mengalami lebih banyak masalah daripada manfaat.

Jadi, apakah perusahaan harus melanjutkannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun