Mohon tunggu...
Anatasia Wahyudi
Anatasia Wahyudi Mohon Tunggu... Freelancer - i am dreamer!

Ordinary people and stubborn

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kenapa Orang Kaya Cenderung Depresi?

12 September 2021   15:23 Diperbarui: 13 September 2021   01:06 1729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia selalu diliputi masalah yang dihadapi di dunia ini. Tak jarang diantara mereka kesulitan untuk menghadapinya sehingga berupaya mencari pelarian.

Kekayaan juga tak menjamin kebahagiaan diantara mereka. Sebut saja, Nia Ramadhani yang ditangkap pada 7 Juli lalu karena stres. Namun mengapa orang kaya tergolong manusia yang sengsara?

Sebuah jurnal dari  di tahun 2018 menemukan semakin banyak harta yang didapatkan, semakin manusia menjadi tidak bahagia. 

Penelitian itu menunjukkan begitu seseorang memperoleh pendapatan rumah tangga secara global sebesar US$95.000 cenderung dikaitkan dengan menurunnya kepuasan hidup dan tingkat kesejahteraan jauh lebih rendah.

Fenomena itu bahkan bukan hanya melanda orang dewasa, namun juga anak-anak keturunan keluarga kaya. Menurut penelitian itu juga anak-anak tersebut lebih memungkinkan untuk mengalami depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat dibanding  mereka yang berasal dari keluarga kurang makmur.

Dikutip dari marketwatch.com, berikut ini penyebab orang kaya lebih sengsara:

1. Banyak uang, banyak hal yang diinginkan. Para peneliti dari Universitas Purdue percaya jika uang berlebih menjadi pemicu untuk mengejar lebih banyak keuntungan materi serta perbandingan sosial yang ironisnya menjadi penyebab menurunnya kesejahteraan.

Dalam buku "From Entitlement-Driven Children" yang ditulis oleh Psikolog Elizabeth Lombardo menyebut itu diakibarkan oleh efek treadmill. 

Ia mengatakan orang-orang kaya berpikir dengan membeli banyak barang-barang akan memberi kebahagiaan, namun mereka bertanya-tanya apa selanjutnya untuk dimiliki dan tentunya harus lebih besar dibandingkan dari apa yang telah dimiliki sebelumnya juga yang dimiliki oleh orang lain di sekitarnya.

Sedangkan psikoterapis keluarga dan hubungan Beverly Hills, Fran Walfish mengatakan kebahagiaan terdalam ialah berasal dari cinta antara manusia, hubungan yang hangat, memberi, apresiasi, dan rasa terima kasih. 

Sehingga hal itu membuktikan harta benda tak membuat orang kaya menjadi lebih bahagia, namun dengan menghabiskan waktu dengan sesuatu yang disukai serta irang yang dicintai akan memberikan kebahagiaan yang sesungguhnya.

2. Harvard Business Review merangkumkan bahwa "kekayaan itu mengisolasi... Secara psikologis, memperoleh kekayaan dan lebih umum lagi kepemilikan yang menandakan status tinggi membuat manusia ingin mnejauhi dirinya dari orang lain. Ini mungkin karena perasaan persangan dan keegoisan... Mungkin juga karena sederhananya, orang kaya tidak membutuhkan orang lain untuk dapat bertahan hidup seperti yang dilakukan oleh orang yang lebih miskin." 

Meski begitu, apapun alasannya, semakin banyak kekayaan yang didapat, semakin sedikit oranng menghargai hubungan sosial dan buruknya, itu akan menggerogoti kesejahteraan hidup secara menyeluruh.

3. Lebih banyak uang, lebih banyak pekerjaan yang dilakukan. The Atlantic mencatat jika laki-laki kaya raya di AS adalah pecandu kerja. Mereka bekerja jauh lebih lama dibanding laki-laki miskin di AS dan laki-laki kaya di negara maju lainnya. 

Moneyish menyebut jam kerja yang panjang berfungsi sebagai hak membual bagi orang terkaya.

Masalah yang muncul ialah saat waktu yang dihabiskan lebih banyak untuk pekerjaan, keluarga akan terabaikan. Ditambah, psikolog Crystal Lee mengatakan umumnya pekerjaan dan promosi dengan gaji lebih tinggi akan mendatangkan tanggung jawab dan stres yang lebih banyak.

Selain itu, dikutip dari The Sydney Morning Herald, Profesor psikologi di Deakin University, Lina Ricciardelli menyampaikan status sosial yang tinggi dapat menjadi faktor risiko kecemasan dan depresi.

"Keluarga-keluarga ini seharusnya menjadi keluarga paling bahagia di alama semesta, bukan? Pepatah lama bahwa uang tidak dapat membeli kebahagiaan itu benar. Bahkan mungkin itu memberikan Anda beberapa masalah," kata Lina.

Menariknya, anak dari keluarga kaya merasa cemas dan depresi akibat dari tekanan yang diberikan oleh orang tuanya atas tuntutan prestasi yang diharapkan. 

Direktur layanan psikologis di Black Dog Institute, Vajaya Manicavasagar mengatakan orangtua yang fokus pada hasil membuat anak-anaknya merasa kebutuhannya tidak terpenuhi.

"Beberapa anak bisa menarik diri ke dalam cangkangnya dan menjadi depresi atau cemas. Anak-anak lainnya akan memberontak dengan hal itu," ungkap Vijaya.

Kepala eksekutif kelompok kesehatan mental pemuda Generation Next, Ramesh Manocha menuturkan keluarga kaya sering dipimpin oleh orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya.

"Kaum muda yang kaya memiliki akses ke alkohol, lebih banyak akses ke obat-obatan terlarang dan lebih banyak waktu serta pengetahuan tentang cara menyalahgunakan sumber daya yang tersedia bagi mereka," tutur Ramesh.

Tidak dapat dipungkiri, di tengah masyarakat sosial, beberapa orang bermimpi untuk memiliki kehidupan sejahtera dan bergelimang harta. 

Sehingga tak jarang mereka melakukan tindakan yang seharusnya tak dilakukan. Jika menginginkan sesuatu, bekerja keraslah. Meski pun kerja keras sendiri tak menjamin karena tidak semua manusia dapat mendapatkan keadilan.

Akan tetapi, perlu diingat, kaya dengan cara instan seperti menikah dengan orang kaya harus memperhatikan hal buruk yang bisa terjadi termasuk depresi. 

Meskipun sebuah survei dari Chapman University menunjukkan perempuan menganggap lebih penting untuk memiliki pasangan yang menghasilkan uang setidaknya sebanyak yang mereka hasilkan (46 persen berbanding 24 persen laki-laki) dan memiliki karir yang sukses (61 persen berbanding 33 persen laki-laki). 

Nyatanya, kebahagiaan tidak melulu tentang materi, namun bagaimana cara menjalani hidup dengan lebih banyak bersyukur dan menemukan pasangan yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun