"Baiklah, jika korupsi tidak dapat diberantas oleh karena sudah menjadi alat penyeimbang ekonomi, mengapa tidak kita halalkan saja korupsi."
Korupsi (mencuri) sudah merasuk ke sumsum terdalam organ-organ ekonomi dan pola hidup bangsa ini, sehingga bukan perkara mudah untuk memberantasnya. Korupsi ibarat kanker ganas stadium tinggi yang hampir tidak dapat dihentikan. Seseorang dapat melakukan korupsi karena memiliki wewenang/jabatan, kemudian memanfaatkan posisinya untuk memeras atau berselingkuh dengan pelaksana pekerjaan. Si pejabat memperoleh hard cash (baca : SOGOKAN) dalam jumlah lumayan dari pelaksana. Imbalan bagi pelaksana adalah dengan memenangkan kemudian mempermudah si pelaksana dalam delivery pekerjaannya. Pada tingkat yang lebih parah, kualitas delivery bisa tidak memenuhi syarat sempurna pekerjaan tsb, tetapi sang pejabat menandatangani berita acara serah terima laksana pekerjaan telah diselesaikan dengan baik. Dari sudut pandang pejabat, ia merasa benar melakukan itu, karena dia punya wewenang. Dia bisa memilih pelaksana/penyedia lain yang lebih royal sesuai dengan keinginannya. Kenapa pilih kontraktor/konsultan yang pelit jika ada yang royal. Dari sudut pandang pelaksana/kontraktor/konsultan, mereka juga merasa benar memberikan sogokan. Istilahnya juga diganti jadi entertain (jamuan); keren dan tidak berbau dosa. Entertain malah menambah gengsi, karena berarti mereka kuat menjamu. Jika tidak, mana bisa dapat proyek. Jika tidak dapat proyek, mana bisa menggaji karyawan. Jika tidak bisa menggaji karyawan, mana bisa mengerjakan proyek. Jika tidak mendapatkan proyek, mana bisa meng-entertain alias MENYOGOK. Nah, lalu siapa yang salah? Yang salah adalah peraturannya, yaitu mengapa KORUPSI alias MENCURI dilarang.
"Baiklah, jika korupsi tidak dapat diberantas oleh karena sudah menjadi alat penyeimbang ekonomi, mengapa tidak kita halalkan saja korupsi." "Semoga para pejabat peminta sogok dan pengusaha pemberi sogok segera masuk surga. Kalau bisa besok sudah masuk surga."
Demikianlah humor hari ini. Mari jangan enggan mentertawakan negeri seribu tawa. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H