Konon semua agama mengajarkan kebaikan, sehingga kejahatan yang timbul adalah bentuk-bentuk pelanggaran terhadap ajaran agama apapun. Demikian pula kemaksiatan; tak ada satu agama pun di dunia yang menghalalkan kemaksiatan seperti perselingkuhan, perzinaan, pergaulan bebas, konsumsi narkoba, minuman keras, dan pornografi.
Pertanyaannya, mengapa bisnis maksiyat dibiarkan oleh negara yang mengaku sebagai negara yang berketuhanan. Adakah dasar argumen yang sah dari penyelenggara negara dalam memberikan ijin usaha hiburan yang sudah jelas merupakan wahana kehidupan malam yang menjurus pada pergaulan bebas, prostitusi, perzinaan, peredaran narkoba, dst.
Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya Bisnis Maksiyat seperti Klab Malam, Diskotek, dan semacamnya di-backing-i aparat. Setorannya lancar, sehingga aktifitas penjualan miras, narkoba, dan bahkan prostitusi terselubung atau terang-terangan pun berjalan lancar. Kondisi ini mendukung berkembang dan menyebarnya kehidupan hedonis yang sebetulnya merusak akar budaya bangsa dan tatanan agama serta martabat keluarga pelakunya.
Kehidupan hedonis seringkali menjadi tolok ukur prestige dan branding para pelaku bisnis. Jika tidak bisa meng-entertain owner atau pemberi pekerjaan, diragukan kemampuan modal atau komitmennya. Hmmm.. Tidak cukup entertain, barangkali juga up front cash mesti dijejalkan pada pejabat-pejabat pembuat komitmen. Entertain, kalau sekedar traktir makan-minum di resto berkelas, barangkali tidak menjadi masalah, karena semahal-mahalnya makanan, gak akan bikin bangkrut pelaku bisnis. Namun, mentraktir makan, saat ini, untuk bisnis skala milyar sudah tidak laku alias tidak cukup untuk disebut entertain.
So, dapat kita bayangkan berapa banyak bisnis yang berjalan atas lobi-lobi dalam bentuk entertain haram. Mungkinkah bisnis atau proyek yang berawal dari lobi-lobi haram dapat dijalankan secara benar secara anggaran maupun pelaksanaannya? Dalam sudut pandang negara, siapa yang akhirnya menanggung beban entertain tsb?
Tata nilai kesederhaan, kejujuran, dan profesionalitas telah musnah digilas kehidupan hedonistik kebanyakan pelaku bisnis. Kebanyakan pejabat negara diajari secara turun-temurun untuk beradaptasi dengan dunia bisnis. Yang dulunya tidak bisa golf, sekarang belajar dan akhirnya mahir bergolf ria. Tidak bisa golf dianggap kampungan. Tidak bisa karaoke dianggap ketinggalan jaman.
Duh.. Mau dibawa kemana bangsa ini.
Ketika pejabat negara yang berebut uang yang bukan haknya, membawa uang haram untuk dikonsumsi keluarganya, dapatkah kita bayangkan kelak keturunannya menjadi apa kalau bukan lebih parah dari orang tuanya.
TV Satelit dapat mengantarkan suguhan pornografi dan film-film tanpa sensor;
Mobil Mewah, Rumah Mewah , Villa, dan Gadget Mewah dapat memaksa dirinya mendapatkan uang haram di luar gaji yang semestinya agar dapat membayarnya;
Aktifitas Maksiyat memaksa dirinya tunduk pada pebisnis-pebisnis dan kolega yang memfasilitasinya, yakni memberikan proyek secara tidak benar secara anggaran, dan bahkan tak jarang pejabat melakukan penggelapan uang atau kekayaan negara.
Menutup bisnis maksiyat dan mencela serta memberi sanksi atas prilaku hedonistik adalah satu cara ampuh memperbaiki negara ini. Indonesia tidak perlu FPI jika aparat dan masyarakat tidak tergiur kehidupan maksiyat dan hedonis.
Mari hidup apa adanya. Jalani kehidupan secara wajar, tidak perlu mendahulukan duniawi hingga lupa kehidupan setelah mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H