Perbaikan yang tengah dilakukan pada pelataran jalan di kawasan Malioboro, tepatnya di depan Monumen 1 Maret, ternyata mendorong aksi protes dari orang yang tak dikenal. Bukan perbaikan jalan penggantian vavin block-nya yang ditentang, namun sikap pemerintah Jogja yang enggan mengganti patung seronok yang sudah diketahui telah cukup lama menjulang di kawasan sentral Yogyakarta tersebut. Pendemo lewat selebaran tulisan yang ditempelkan pada seng pembatas itu, menilai pemerintah dibayar tinggi untuk tidak lekas mengganti patung yang menyerupai bagian bawahan laki-laki itu. Memang dilihat sepintas saja, patung tersebut terlihat sangat tidak sopan. Apalagi bentuk dan ukurannya yang bisa dibilang tidak kecil, sehingga bagi siapapun yang melewatinya akan dengan mudah melihatnya, sekalipun itu secara tak sengaja. Selain itu, patung tersebut juga terletak di kawasan yang selalu ramai dikunjungi atau dilewati banyak pengendara, karena letaknya yang berada di pinggiran jalan perempatan kawasan nol kilometer, yang memang menjadi pusatnya keramain kota Jogja itu. Entah apa filosofi atau makna dari patung tersebut. Namun yang jelas keberadaan patung tersebut kini telah mengundang kecaman atau protes dari pihak yang entah belum diketahui identitasnya itu.
Sebenarnya pemerintah Jogja sendiri awalnya hanya berniat merenovasi atau mengganti vavin block yang berada di kawasan nol kilometer tersebut. Memang di beberapa bulan terakhir ini sering dilakukannya perubahan atau renovasi di kawasan tersebut.
Mulai dari membuat penghalang jalan atau pagar kecil di setiap batas jalan raya yang kini berdampak semakin rapinya kawasan bagi pejalan kaki di Malioboro, karena tidak harus berdesakan dengan parkiran motor yang memakan sebagian besar ruas trotoar dan juga pedagang kaki lima yang kian membuat area yang dikhususkan bagi para pejalan kaki itu kian menyempit. Perubahan juga terjadi pada patung-patung kecil yang secara berkala menjadi penghias di pusat icon Jogja tersebut, patung mendominasi titik-titik utama di sepanjang jalan kenangan tersebut, mulai dari kawasan dekat rel hingga dekat monumen 1 Maret. Dan yang terakhir perbaikan vavin block ini. Keberadaan patung yang memiliki warna oranye terang dan menantang itu merupakan pengganti dari replika besar pembungkus makanan-makanan khas Jawa, yakni menggunakan daun pisang yang dilapisi koran. Icon patung tersebut (bungkusan) yang lebih ndeso memang terkesan jauh lebih mewakili Jogja, bila dibandingkan dengan patung tak bercelana yang menampakkan kaki-kaki kekarnya itu, dengan akar-akar yang tumbuh dari pinggang hingga atas. Yang meresahkan pendemo, pastilah karena tercetak dengan jelasnya bagian (maaf) bokong pada patung tersebut. Karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kawasan yang menjadi tempat terpilih untuk peletakan patung kontroversi tersebut ialah kawasan paling ramai dikunjungi baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara, baik dari usia muda maupun tua, bahkan anak-anak. Hal tersebut pulalah yang sepertinya mendorong si pendemo untuk mendesak pemerintah segera menghengkangkan kaki-kaki raksasa itu agar segera angkat kaki dari kawasan nol kilometer, seperti yang tertulis pada gambar selebarannya di bawah ini.
Namun, aksi demo tersebut sepertinya tidak akan berpengaruh banyak atau bahkan sedikitpun pada keberadaan patung “gagah” tersebut, bahkan mungkin untuk menggeser dari tempatnya saja cukup sulit. Selain karena hal teknis lainnya, juga dikarenakan “suara” yang timbul dari aksi protes yang belum jelas siapa dalang di baliknya itu, tidak memiliki gaungnya sama sekali. Hanya berbekal tiga lembar selebaran kertas berisi tulisan penolakan atas keberadaan patung seronok tersebut, yang sewaktu-waktu bisa saja dicerabut oleh orang iseng yang lewat, atau malah rusak karena terguyur air di musim penghujan ini. Meski begitu, keberadaannya cukup memberikan warna tersendiri untuk menyadarkan kita bahwa seni juga tak sepantasnya terlepas dari etika dan norma yang berlaku di daerah setempat. Kita tunggu tindak lanjut dari si pendemo dan/atau pemerintah Yogyakarta terkait masa depan patung yang sudah sekitar satu tahun meramaikan kawasan Jogja, dan kerap menjadi studio foto jalanan tersebut.Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya