1 Oktober merupakan hari yang sangat krusial demi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Setidaknya enam Jendral dan beberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan. Peringatan Kesaktian Pancasila ini berakar pada sebuah peristiwa tanggal 30 September 1965. Konon, ini adalah awal dari Gerakan 30 September (G.30.S/PKI). Oleh pemerintah Indonesia, pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis. Sehingga penting sekali bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa mengenang dan memperingati Kesaktian Pancasila setiap tahunnya, tidak terkecuali di kampus kecil daerah tapal kuda, STAIN Salatiga. Bertepatan hari tersebut lahirlah program baru yang akan membawa atmosfer dan semangat baru yang bernama ICP (International Class Program).
Pertama kalinya bisa dipanggil mahasiswa rasanya naik level tertinggi dari yang biasanya pakai putih abu-abu, kini harus berseragam bebas mulai atas sampai bawah. Tinggal pilih mau berdandan ala artis, agamis atau akademis. Kupilah-pilih pakaian yang cocok selayaknya pelajar berpendidikan yang kelak berharap menjadi cendekiawan. Maklum perdana untuk mencoba mematchingkan pakaian, akhirnya kucoba rok kolaborasi warna coklat hitam kotak-kotak dan atasan batik cokelat tua corak Solo bertumpal hitam serta berjilbab hitam. Baju lebaran pemberian kakak yang kurasa kostum terbaik untuk memasuki ruang B9 Gedung Imam Ghozali.
Rasa berdebar menghampiriku, perasaan kecewapun hilang dan berganti menjadi arah yang pasti disertai langkah yang terarah. Meski masa-masa awal sejak melalui tes pendaftaran mahasiswa baru, placement test penentuan jurusan hingga tes interview penentuan kelas sempat terlintas pengalaman pahit telah berkali-kali ditolak di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) favourite di Jawa Tengah, seperti gagal mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) Unnes, PPBU (Program Penelusuran Bibit Unggul) UGM sampai SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) UNS membuat Ana sempat frustasi, murung dikamar, jarang makan dan mandi bahkan tak mau keluar rumah karena malu kalau dikatain warga sekitar termasuk Pakde dan Bulik yang mengatakan,
“Sayang banget ya, murid sepandai kamu yang selalu rangking 1, tidak bisa diterima kuliah di UNS Solo.” Kata-kata itu yang semakin menyayat dan menusuk hingga aku tak bisa memutuskan lagi mau kuliah dimana.
Istighosah rutin tiap bulan di Masjid Ana lakoni, yasinan malam Jum’at dan ikut sholawatan al-berjanji juga tak pernah absen bahkan masa-masa itu merupakan waktu paling khusyu’ untuk senantiasa sholat tengah malam agar doa keterima SNMPTN bisa dikabulkan. Pantas saja berat badan masih 43 kg karena setiap hari berangkat pagi dan pulang sore untuk belajar kelompok di sekolah dalam rangka menyiapkan UN hingga menghadapi SNMPTN. Berbeda dengan masa kini yang memberlakukan nilai UN sebagai syarat masuk PTN. Mengutip dari TEMPO.CO, Jakarta pada 2 Juli 2012, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Djoko Santoso mengatakan,
“Cukup berpatokan pada nilai UN siswa. Agar irit, jadi tak perlu ada tes lain.”
Realitanya seperti yang telah kita saksikan, soal UN di beberapa daerah mengalami keterlambatan, belum lagi adanya indikasi-indikasi kecurangan saat UN. Soal UN biasanya mengulas pembelajaran kita di SMA/K, logikanya soal UN lebih mudah daripada SNMPTN karena memang fungsinya yang berbeda, memang sudah seharusnya ujian buat lulus sama ujian buat masuk PTN itu juga berbeda. Ironisnya terdengar berita yang sempat memanas, anggaran pengadaan toilet para wakil rakyat dengan nominal begitu besarnya, bisa mengalahkan pentingnya kualitas SDM dan pendidikan negeri ini.
Kuinjakkan kakiku dikelas yang merupakan program baru di sivitas STAIN Salatiga sebelum kini berubah menjadi IAIN. Ruangan yang bermatraskan permadani, disediakan televisi, dilengkapi AC, dan tirai yang melambai-lambai dipenuhi hawa sejuk menyambar hendak melihatkan kami akan adanya pemandangan gunung Merbabu dan sederetan gunung Telomoyo sampai Payung Rong seperti lukisanku ketika SD. Pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi gagah berani, dan segerombolan awan yang menjadikan pemandangan semakin indah dilihat dari ruangan ICP. Senyuman ramahpun menyapa dan menyambut hangat kedatangan kami sebagai mahasiswa-mahasiswi terpilih. Beratus-ratus mahasiswa telah mendaftar dan mengikuti tes seleksi, namun hanya 20 mahasiswa yang diambil. Laki-laki tengah baya itu nampak berusia 37 tahun, namun bahasa tubuhnya menunjukkan keramahan, kehangatan dan semangat. Itulah direktur ICP sekaligus Ayah yang akan mengenalkanku birokrasi, Hammam, M.Pd. itu namanya.
Aku duduk pada barisan depan dengan teman-teman di kamar Saudah. Nama-nama kamar di ma’had (pondok) kami menggunakan nama Islami yang diambil pada zamannya Nabi, seperti Fatimah, Aisyah, Hafsoh, Saudah, Juariyah, dan kawan-kawan. Awal masuk STAIN, kami sudah dijelaskan peraturan-peraturan yang harus diikuti ketika menjadi mahasiswa di Program Khusus Kelas Internasional (KKI) yang merupakan keredaksian ICP dalam bahasa Indonesia, salah satunya adalah tinggal di pondok selama masa studi 4 tahun.
Karena ICP dianggap spesial, maka mahasiswanyapun diperlakukan secara beda tidak seperti kuliah pada umumnya yang langsung diberi tugas untuk presentasi, namun diadakan dulu upacara pembukaan sebagai simbolis formal diresmikannya program baru ini. Dengan MC ibu Sulistyawati, sarasehanpun dimulai. Semua orang yang ada di B9 diminta berdiri untuk melantunkan Indonesia raya dan diikuti Hymne STAIN.
Semangat semakin membara dan pikiranku melambung mengingat impian masa kecilku untuk go international. Saat itu pergi ke Jakarta saja seperti tidak mungkin apalagi bisa ke luar negeri. Namun siapa sangka impian apapun kalau tetap kita jaga dan pernah kita utarakan bisa menjadi doa.
Ketua STAIN Salatiga, Dr. Imam Sutomo, M.Ag. dengan membaca basmallah dan mengetok meja tiga kali dengan palu kayu kecil, program ICP secara resmi dibuka, kemudian dilanjutkan sambutan tentang kurikulum dari Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Puket 1 (Pembantu Ketua) bidang akdemik. Pak Rahmat mengarahkan bahwa mata kuliah IC setiap semesternya terdiri dari 15- 17 mata kuliah dengan kisaran SKS di atas 30. Mendengar hal itu, aku terkejut dan bertanya-tanya, pelajaran apa saja dan kenapa bisa sebanyak itu, bakal seperti siswa SMA saja yang pagi berangkat dan sore pulang namun dengan jadwal yang padat. Dilanjutkan dengan penjelasan Direktur ICP, Pak Hammam memberitahukan kewajiban lain selain tinggal di asrama dan SKS persemester di atas 30, adalah menghafal al-Qur’an beberapa juz.
Yang kutahuICP pada dasarnya merupakan program lintas studi dari fakultas Tarbiyah (Pendidikan) yang menggunakan bahasa pengantar Arab dan Inggris ketika kuliah. Mahasiswa di program ini diproyeksikan untuk bisa melanjutkan studi S2 ke luar negeri sehingga mereka dibekali mata kuliah sebanyak itu termasuk budaya Jawa agar kami siap terjun ke dunia Internasional mengenalkan Islam di Indonesia. Yang lebih menjadi fokus perhatian sivitas akademika bahwa mahasiswa ICP akan melaksanakan PPL dan KKL ke luar negeri, tepatnya di SILN (Sekolah Indonesia Luar Negeri) yang tersebar di dunia.
Ana Stnk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H