9 April 2014 tinggal beberapa hari lagi menuju euforia pesta demokrasi di Indonesia. Tahun ini merupakan masa menentukan nasib Indonesia untuk 5 tahun yang akan datang. Jika masyarakat masih menerima kesalahan-kesalahan yang sama itu bukan dikarenakan saja politikus busuk masih menggunakan money politic tapi juga karena sebagian masyarakat masih memberi kesempatan para pemimpin yang kurang berintegritas tersebut menginjakkan dirinya di Senayan. Sebagai pemuda yang menjumpai fenomena ini menjelang pemilu legislatif, ‘berbagi’ adalah solusi yang paling efektif.
Perlu penulis definisikan dahulu makna kata berbagi tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘berbagi’ bermakna membagi sesuatu bersama, bisa pula bermakna membagi diri misalnya berbagi pengalaman bemakna membagikan pengalaman sehingga dapat memetik manfaat. Perlu kita ketahui bahwa dengan berbagi, orang yang kita beri menerima manfaat, baik dalam jangka panjang maupun pendek.
Dari definisi berbagi itu sendiri lebih mengindikasikan ke pembaca bahwa yang dibagikan bukanlah sekadar materi tetapi lebih ke skill development, knowledge, experience, information. Dengan membagikan pengembangan bakat, ilmu pengetahuan, pengalaman inspiratif dan informasi, penulis optimis bahwa hal-hal tersebut bisa menjadikan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik.
Sehingga apabila menjelang pemilu April mendatang, para caleg berbagi uang berarti caleg tersebut tidak bisa kita sebut berbagi dan lebih tepatnya disebut membeli. Jika saat kampanye saja sudah melakukan hal seperti itu, tidak heran kalau kelak jadi pemimpin akan korupsi, merasa ingin mengembalikan modal dengan membeli suara untuk mendapatkan kursi kepemimpinan. Untuk menghindari kebobrokan menjelang pesta demokrasi, penulis akan membagikan opini melalui tulisan ini dengan harapan pemimpin di negeri ini tergugah hatinya untuk melakukan ‘gerakan mari berbagi’ sebagai solusi pemimpin anti korupsi.
Bayangkan saja jika sebagai insan Tuhan kita berprinsip berbagi dimanpun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun pastilah tidak akan terjadi kelaparan, penindasan, penganiayaan hingga parahnya pembunuhan maupun pembantaian dan perang. Apakah saat ini saya bermimpi atau tidak, saya hanya ingin berada disuatu tempat dimana terdapat pemimpin yang membagikan keuangan negara untuk memfasilitasi masyarakat menjadi berpendidikan, produktif, sejahtera, dan maju. Bukan pemimpin yang tidak memiliki jiwa berbagi yang hanya memikirikan kantong pribadi.
Penulis meyakini bahwa bangsa ini masih memiliki banyak pemuda-pemudi yang memiliki jiwa berbagi yang kelak menjadi pemimpin bangsa menuju Indonesia sejahtera, lebih damai, dan siap berbagi dalam perbedaan karena kemajemukan bumi pertiwi. Awal Februari 2014, penulis mendapati forum kepemudaan yang mengedepankan prinsip berbagi, ini disebut GMB (Gerakan Mari Berbagi). Forum pemuka pemuda Indonesia ini bertujuan untuk mengarus utamakan sikap mental dan perilaku berbagi dan memberi living beyond yourself. Hal ini berdasarkan pengalaman langsung inisiatornya bernama Azwar Hasan yang kini sudah mencapai kemapanan hidup, kecemerlangan karir, pernah mendapatkan pendidikan di kampus favorite di Indonesia dan dunia namun merasa bahwa kesuksesan yang beliau raih tidak lepas dari bantuan orang-orang disekitarnya.
![1395807451814689145](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/03/1395807451814689145.jpg?t=o&v=770)
Dalam forum tersebut, penulis bisa merasakan langsung semangat para pemuda-pemudi dari Sabang sampai Merauke. Berbagi bisa melalui banyak hal seperti mengajar di Panti Asuhan, membuka rumah baca, memotivasi anak-anak jalanan, sharing informasi beasiswa, berbagi sepeda, agroedukasi, berbagi gunting kuku, dan lain sebagainya. Ini tentu menarik sekali, bagaimana bang Az dan volunteers merintis Gerakan Mari Berbagi (GMB) ini. Tentu harapannya GMB bisa menjamur kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya pemuda-pemudinya untuk memiliki kepedulian terhadap sekitarnya, memberikan solusi saat menemui masalah bukan sekadar mengeluh dan mengkritisi.
Pernah juga penulis jumpai pengalaman untuk belajar dari relawan Jepang yang saat itu membantu saya menjalankan projek GMB yang bernama STNK “Sharing Teaching for Nation Kindly” dalam serangkaian kegiatan Indonesia International Work Camp di sebuah Panti Asuhan desa Mangunharjo kecamatan Tembalang kota Semarang. Namanya Yu Tsubouchi dari Nagoya yang berbagi cerita kepada penulis karena hanya saya yang tertarik dengan sejarah dan politik. Yu bercerita kenapa Jepang bisa menjadi negara maju dan ekonominya sudah sangat stabil. Ini tidak lepas dari study hard, work hard, positive thinking and open minded.
Tahun 1945, saat kota Hiroshima dan Nagasaki diporakporandakan oleh sekutu pada Perang Dunia II kita semua mengetahui bahwa yang dicari pertama kalinya adalah berapa jumlah sense istilah untuk menyebut guru dalam bahasa Nihon. Ini berarti Jepang sangat mengutamakan pendidikan, sehingga mereka berpola pikir bahwa kalau kita mau maju maka kita harus belajar dan banyak membaca ‘study hard’. Selanjutnya banyak anak-anak muda Jepang disisa-sisa waktu kuliahnya, mereka melakukan part time job. Mereka tidak sedikitpun merasa malu atau rendah diri karena hal tersebut akan melatih mereka untuk ‘work hard’ meskipun orang tua mereka kaya dan sudah berkecukupuan untuk membiayai anaknya tetap saja mereka suka melakukannya, misalnya jadi pelayan restoran; model wedding dress, menjual sayuran, dan lain-lain.
Yang membuat penulis kagum pada mind set orang Jepang adalah dua poin terakhir ini, yakni positive thinking dan open minded. Meski Amerika telah mengebom Jepang tepatnya di kota Hiroshima dan Nagasaki, mereka tidak memiliki rasa balas dendam justru mereka senantiasa membudayakan ‘positive thinking’ saat berinteraksi dengan orang asing termasuk Amerika. Yu mengatakan bahwa Jepang tidak akan bisa maju seperti ini tanpa belajar dari negara-negara Barat. Negara Adi Daya tersebut telah memberikan bekal-bekal militer, membangun ekonomi, dan politik hingga membentuk negara Jepang yang bisa kita lihat sekarang ini. Yu juga menambahkan bahwa Amerika meletakkan pangkalan-pangkalan militernya terutama di daerah Okinawa. Kemudian pada uang kertas 1000 Yen terdapat gambar sosok inspirasnya yang bernama Hideo Noguchi, seorang peneliti bakteriologi. Dalam hal ini, orang Jepang lebih ‘open minded’ berpikiran terbuka terhadap budaya baru selama itu membawa perkembangan. Dan keterbukaan mereka telah menjadi kunci utama untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara maju seperti Eropa juga dia sebut.
![1395807615328773463](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/03/1395807615328773463.jpg?t=o&v=770)
Kini saatnya pemuda-pemudi bangkit untuk Indonesia yang lebih hebat dan bermartabat karena pemuda adalah pemimpin masa depan. Dan berharap masyarakat bisa menegakkan ketegasan untuk memilih pemimpin yang berintegritas dan bijaksana yang memiliki jiwa-jiwa berbagi untuk rakyat Indonesia. Salam Berbagi!
Ana Stnk
Mahasiswi KKI STAIN Salatiga
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI