Mohon tunggu...
Anastasia Satriyo
Anastasia Satriyo Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Magister Profesi Psikolog Klinis Anak yang gemar membaca, menonton dan menulis. \r\nMenyukai seni, sastra, bahasa, politik, budaya, pertumbuhkembangan anak dan manusia, serta segala segi kemanusiaan yang terdapat di dalamnya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya dan Sumpah Pemuda

9 November 2013   00:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:24 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 28 Oktober yang lalu kita memperingati hari Sumpah Pemuda.

Hari itu, ada perasaan yang begitu sentimental dalam diri saya. Buat saya Sumpah Pemuda bukanlah sekedar peringatan formalitas belaka. Saya memaknainya dengan perasaan mendalam karena menghidupi perjuangan orang-orang muda Indonesia di setiap masa.

Perjuangan yang bagi saya dilandasi cinta mendalam pada Tanah Air digabung dengan kepedulian dan daya kritis memandang hidup. Lalu memunculkan inisiatif, “Apa yang bisa saya lakukan untuk tanah air saya sesuai dengan bakat dan potensi yang saya miliki? Sesuai dengan kemampuan dan kompetensi saya? Sesuai dengan ruang lingkup saya?”. Pertama adalah cinta, lalu peduli. Pertanyaan yang sama pula, saya berikan pada diri saya. Saya belum menemukan jawabannya dengan pasti, tapi pertanyaan ini saya rasakan menjadi pedoman (guidance) bagi saya untuk menjalani keseharian hidup. Pedoman untuk peka membaca tanda-tanda dan sinyal-sinyal keterpanggilan hidup dari-Nya.

Perasaan di hari Sumpah Pemuda ini terasa luas dan overwhelmed. Perasaan ini terasa berada di dalam diri tapi juga melampaui diri. Perasaan ini ada karena menghidupi kekinian tapi juga bergerak melampaui waktu dan zaman. Di dalam diri, perasaan ini terasa seperti pijar. Menyala sebagai wujud kemeng-ada-annya. Menyala dalam suatu ketenangan yang konstan namun solid.

Perasaan seperti ini saya rasakan sepanjang hari.

Perasaan ini mewujudnyatakan seluruh pengalaman hidup dan keterpaparan saya tentang sebuah konsep bernama “Indonesia” dan “Tanah Air”. Dua buah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh orang tua saya. Dua buah konsep yang membingkai hampir seluruh pengalaman keterpaparan saya mengenai dunia sejak usia dini. Secara tidak langsung, ini menjadi paradigma dari ‘kurikulum’ pendidikan yang orang tua saya berikan.

Mengapa demikian?

Sebab saya merasa, apapun yang saya alami, lihat dan rasakan selalu ditarik benang merahnya kepada pengalaman melihat Indonesia. Pengalaman berlibur ke berbagai kota di Indonesia, selalu ditarik ke kalimat “Lihat ya, Indonesia begitu indah, luas dan beragam”. Pengalaman mencicipi berbagai makanan Indonesia pun juga demikian. Termasuk pengalaman-pengalaman kecil lainnya, sering dan dengan mudah ditarik pada konsep yang sebenarnya abstrak, tapi menjadi begitu nyata untuk saya. Indonesia.

Mungkin kalau hanya sekedar jalan-jalan dan mencicipi makanan tanpa debriefing atau ditarik untuk memaknai benang merah dari rangkaian paparan tersebut, saya hanya melihatnya sebagai fragmen yang parsial. Namun karena bertahun-tahun selalu dipaparkan pada pengalaman hidup dengan pemaknaan konsep “Indonesia” yang mengikutinya, di saat ini saya jadi melihat hidup mulai dari pengalaman personal sampai sosial, mulai dari lingkup mikro sampai makro dengan paradigma “Indonesia” ini.

Saya jadi mudah tersentuh dan terharu melihat segala sesuatu di mana saya bisa ‘melihat’ dan menyadari kalau hal tersebut berkaitan dengan “Indonesia”. Kalau Arundhati Roy membuat buku berjudul God in Small Things, melihat Allah dalam segala sesuatu saya juga melihat Indonesia dalam segala sesuatu.

Konsep “Indonesia”, “ke-Indonesiaan” dan “Tanah Air” ini juga dihubungkan oleh ibu saya terutama, untuk memaknai pengalaman pribadi. Pada pengalaman-pengalaman hidup di mana saya dan adik merasa kami begitu beruntung. Bisa mendapatkan kesempatan (priviledge) yang tidak dapat dinikmati oleh mayoritas penduduk Indonesia, mama akan bilang “Sadar nggak, betapa beruntungnya kamu bisa memperoleh pengalaman seperti ini? Sadar nggak, kalau nggak semua orang Indonesia bisa menikmati apa yang kamu peroleh? Sadar nggak, nggak semua orang bisa sekolah? Yang diberi lebih, harus berkontribusi untuk yang kurang. Kamu tergerak nggak, kalau nanti sudah berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi, ikut berkontribusi dan berbuat sesuatu untuk masyarakat dan bangsa Indonesia.”

“Sadar nggak, banyak kemudahan dan anugrah hidup yang kita dapat dari Tuhan. Kita pakai anugrah ini untuk menolong orang lain. Menolong sesama masyarakat dan bangsa Indonesia yang nggak seberuntung kita.”

“Cara nolongnya gimana, Ma?”

“Menolong itu nggak harus selalu dengan uang. Kamu belajar dengan baik di sekolah kamu, di bidang pendidikan yang kamu pilih, di pekerjaan yang kamu ambil-di mana pekerjaan tersebut bisa membantu masyarakat Indonesia-kamu sudah berkontribusi untuk kemajuan bangsa. Sekalipun bidang pekerjaan kamu tidak secara langsung berkontribusi untuk masyarakat, tapi dengan kamu sendiri menjadi pribadi yang baik dan berkualitas. Itu saja sudah menjadi kontribusi untuk Indonesia”.

Dari tidak mengerti sampai mengerti dan memaknai dengan sungguh kalimat di atas ini.

Tak heran penanaman nilai dan paradigma hidup seperti ini mepengaruhi bagaimana adik saya yang berumur empat belas tahun merancang cita-cita dan hidupnya.

Kak, nanti M kerja apa ya kalau udah besar?”

“Kamu pengennya jadi apa?”

“Pengennya jadi dokter atau jurnalis, tapi pengen bisa keliling Indonesia juga untuk membantu masyarakat Indonesia yang di pelosok.”

Terharu nggak sih dengar remaja empat belas tahun bisa berpikir seperti ini.

Kembali ke soal Sumpah Pemuda. Selain saya memaknai hari tersebut secara khusus, saya juga mendapatkan ‘tanda alam’ yang istimewa. Seorang teman saya, orang Indonesia yang berkuliah di Jerman BBM saya menceritakan kalau Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman yang di Hamburg mengadakan acara lalu memutar video wawancara mereka dengan Anies Baswedan dan dua pengajar Indonesia. Dia dan teman-teman pelajar Indonesia lainnya begitu tersentuh menyaksikan video tersebut. Sampai di akhir pembicaraan kami, dia bertanya “Apa yang bisa kami bantu dari sini, Nas?” “Maksudnya membantu gimana?” “Kalau di Indonesia mau bikin kegiatan dan butuh dana, kita di sini bisa bikin kegiatan untuk penggalangan dana”.

Mata saya berkaca-kaca membaca BBM dari teman saya ini. Semangat untuk berbagi dan berkontribusi pada sesama bangsa Indonesia yang tidak seberuntung kita, masih terus bergelora melampaui jarak geografis.

Seperti ada semangat hidup yang dipompakan ke dalam paru-paru. Ada senyum riang yang tersungging. Menyadari semangat kaum muda Indonesia yang masih ada melampaui jarak geografis, saling menyala dan digemakan. Sempat terbersit di dalam diri, seharusnya dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini penyatuan semangat sesama anak muda Indonesia yang peduli menjadi lebih mudah ya. Sebab penularan dan penyatuan semangat ini tidak harus dilakukan dengan berkumpul secara fisik. Tapi bisa melalui teknologi komunikasi dan media sosial yang ada.

Di hari itu juga saya menonton video Anies Baswedan tentang bagaimana akhirnya ia memutuskan untuk terlibat dalam bursa calon Presiden 2014. Salah satu momen yang menggerakkan Pak Anies adalah ketika beliau mengingat kakeknya, A.R. Baswedan yang ikut berkontribusi bagi terbentuknya negara Republik Indonesia ini.  Sewaktu kursus filsafat di STF Driyarkara, saya memperoleh info lain mengenai A.R. Baswedan. Beliau adalah keturunan Arab yang di zamannya melakukan upaya integrasi keturunan Arab di Indonesia dalam semangat kebangsaan. Memilih untuk mengabdikan diri bagi tanah kelahiran daripada membela tanah nenek moyang atau leluhurnya. Memilih menjatuhkan cinta dan kepedulian pada Tanah Air Indonesia.

Tentang Eyang Kakung

Baca selanjutnya di Rumah Kehidupan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun