"Tak apalah, jika akan melupakan segala kenangan indah ini. Akan tetapi, aku akan terus mengenang ukiran kisah di Bukit Beton ini"
Ya.
Aku adalah sosok gadis yang berasal dari lembah perbukitan menoreh, tepatnya di daerah Boro, Kulon Progo, Yogyakarta. Di mana terkadang orang memandang aku sebagai sosok gadis yang lugu. Akan tetapi, dengan bermodalkan segala talenta dalam diri, aku bisa mengembangkan segala citaku ini. Aku akan dengan bangganya menceritakan bahwa keindahan di tempatku ini, bagaikan surga dunia. Â Dengan segala panorama kehidupan tersebut, akan kugoreskan sepucuk cerita lewat desiran angin.
Ketika itu, hari mulai pagi, sekitar pukul 05.00 WIB. Sang fajar sudah membangunkanku, ketika mentari mulai merangkak dari ufuk timur. Saat aku masih tertidur di kamar tidur, tiba-tiba sosok wanita paruh baya mendatangiku.
"Ayo bangun, nak sudah pagi waktunya kamu harus kejar citamu." Pinta wanita paruh baya itu, yang aku sebut dengan simbok.
"Iya mbok, aku akan segera bangun." Jawabku dengan penuh semangat.
Kulangkahkan kaki kecilku ini, untuk segera bergegas menuju ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku persiapkan diri untuk pergi ke pasar. Setiap pagi aku harus pergi ke pasar tradisional untuk membantu simbok berjualan geblek yang merupakan makanan khas Kulon Progo yang terbuat dari singkong. Maklumlah karena aku adalah anak semata wayang, yang hanya tinggal berdua dengan simbok. Bapak sudah sepuluh tahun lebih meninggalkan aku dan simbok, untuk selama-lamanya. Bapak meninggal karena tragedi tanah longsor, yang juga ikut menewaskan tiga tetanggaku. Hujan deras dan angin lebat membuat tanah itu menjadi longsor, karena rumah kami berada di bawah bukit. Saat itulah aku dan simbok, harus bersama-sama membanting tulang. Simbok melakukan itu untuk masa depanku. Semuanya harus dijalani dengan penuh keikhlasan, agar hidup ini tidak menjadi berat.
Saat liburan tiba, pasar Boro yang selalu buka setiap hari Pon dan Legi selalu ramai di datangi oleh para pemudik. Mereka pulang ke kampung halamannya, untuk temu kangen dengan orang tua maupun saudaranya. Maka dari itu, pasar Boro bisa menjadi tempat untuk melepas  rasa rindu para pemudik atau pendatang. Setelah jenuh dengan kebisingan yang berada di ibu kota.
"Geblek, geblek, gebleknya tante," teriakku untuk menawarkan barang dagangan. "Gebleknya tante, bisa dimakan dengan baceman tempe benguk juga loh," tambahku untuk menarik pembeli.
"Berapaan ini, Dek?" Tanya seorang tante yang juga lagi menikmati masa liburan di daerah Boro.