Mohon tunggu...
Anastasia Palitak
Anastasia Palitak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Hasanuddin

Saya Anastasya, sering disebut sebagai si ambivert, suka berbaur dengan orang-orang, mempunyai hobi membaca buku, mendengarkan musik, dan memasak. Saat ini menjadi mahasiswa yang sedang aktif di organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komunikasi Dalam Ritual Perang Topat: Membangun Harmoni Dan Toleransi Antar Etnis Di Lombok

2 Februari 2024   11:45 Diperbarui: 5 Februari 2024   14:28 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diambil pada tanggal 27 November 2023

Komunikasi merupakan cara yang dilakukan oleh manusia untuk menyampaikan pesan dan menerimanya dengan manusia lain. Proses komunikasi dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman terhadap pesan yang dimaksud. Cara berkomunikasi seorang individu dengan kelompok mempunyai suatu pengaruh yang signifikan berdasarkan latar belakang  budaya yang cukup melekat pada dirinya. Komunikasi dan budaya memiliki keterkaitan satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan. Komunikasi antar budaya adalah bentuk komunikasi antar etnik yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Pulau Lombok yang merupakan salah satu tempat berlangsungnya proses multikulturalisme dapat dipahami melalui eksistensi dari Pura Lingsar sebagai lokasi terjalinnya proses multikulturalisme. Kesadaran akan eksistensi latar belakang satu sama lain menumbuhkan fenomena social dalam dinamika ruang kehidupan, yang tercermin dalam prosesi Perang Topat sebagai wujud syukur atas limpahan karunia dari Sang Pencipta.
Komunikasi ritual perang Topat di Pura Lingsar merupakan tradisi yang menunjukkan betapa dua suku berbeda, yaitu masyarakat Sasak dan masyarakat Bali, dapat bersatu dalam suatu ritual keagamaan. Perang topat ini memiliki beberapa tahapan yang harus di lalui, seperti mengelilingi sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai sarana persembahyangan dan kemudian menjelang tenggelamya sinar matahari sekitar pukul 17.30.
Dalam proses komunikasi ritual perang Topat, masyarakat Hindu dan Muslim bersama-sama melakukan tradisi saling melempar ketupat, yang menjadi bentuk komunikasi dan kebersamaan antara warga Hindu dan Islam di Lingsar. Kegiatan ini merupakan salah satu wujud toleransi dan moderasi di pulau Lombok, dimana ribuan masyarakat  berada dalam suatu wadah dan mengalami perubahan emosi yang positif.
Komunikasi ritual perang topat juga menjadi media untuk terlibat dan mencerminkan betapa dua suku yang berbeda bisa bersatu dalam suatu ritual keagamaan. Sebagai salah satu fungsi komunikasi, ritual komunikasi dijelaskan oleh Mulyana ( 2005) sebagai penegasan kembali komitmen mereka kepada komunitas, suku, bangsa, Negara, ideology atau agama.
Ritual perang topat juga merupakan warisan nenek moyang yang mengajarkan masyarakat untuk menghargai perbedaan dan toleransi. Tradisi ini menjadi bagian dari Pujawali yang juga melibatkan upacara Pujawali dan perang  Topat. Dalam upacara ini masyarakat suku sasak dan Bali yang beragama Hindu dan Islam, tergabung dalam bahagia untuk mengucapkan dan menjaga kehidupan masyarakat di Lombok.
Pura Lingsar merupakan kawasan cagar budaya peninggalan Kerajaan Karangasem di  Pulau Lombok. Dalam buku " Pura Lingsar Selayang Pandang" ( Tim Penyusun, 1989: 1), menjelaskan bahwasanya pura tersebut berdiri pada tahun 1580 Saka oleh anak Agung Ketut Karangasem. Pura tersebut diberi nama Pura Lingsar Ulon.

Kemaliq Lingsar
Kemaliq Lingsar dianggap suci oleh masyarakat  Sasak baik yang beragama Islam maupun yang beragama Hindu. Hal ini disebabkan karena bangunan ini merupakan bukti peninggalan sejarah penyebaran agama Islam di daerah Lingsar, dan bangunan ini berada di dalam komplek Pura Lingsar. Pada tahun 1714 M,  Raja Karang Asem  melakukan pemugaran  tempat ini supaya masyarakat suku Bali sebagai pemeluk agama Hindu dan masyarakat suku Sasak sebagai pemeluk agama Islam senantiasa hidup berdampingan secara rukun.  Sebagai salah satu peninggalan sejarah, kemalig Lingsar mempunyai 3 wujud yang dituturkan Taofik Abdullah, yaitu  1). mempunyai wujud gagasan, pikiran, konsep dan sebagainya yang berbentuk abstrak. 2). Dalam bentuk aktifitas yaitu berupa tingkah laku berpola, dan mempunyai ritus serta upacara-upacara yang lebih konkrit. 3). Dalam bentuk benda yang bisa merupakan hasil tingkah laku dan karya para pemangku kebudayaan yang bersangkutan oleh para ahli disebut dengan kebudayaan fisik ( Abdullah, 1987:5). Dalam konteks tersebut Kemaliq Lingsar dapat dipandang sebagai warisan secara turun temurun yang mempunyai system nilai, norma, pengetahuan dan religi.
Kemaliq merupakan salah satu bangunan bersejarah  yang berada di dalam kompleks Pura Lingsar. Pada abad ke-15 Datuk Milir membangun Kemaliq, Datuk Milir merupakan pengiring dari Syaikh Abdul Malik dalam menyebarkan agama Islam di Lingsar. Daerah Lingsar dahulu kala merupakan daerah yang tandus dan gersang yang hanya ditumbuhi semak belukar dan dihuni oleh binatang-binatang melata dan liar. Setelah Syaikh Abdul Malik dengan dua orang saudaranya yaitu KH. Abdul rouf dan HJ. Raden Ayu Dewi Anjani datang ke daerah tersebut, keadaan daerah Lingsar yang semula tandus kini menjadi daerah yang subur dan makmur, hal ini karena pada malam itu terjadi bulan purnama. Nama lingsar diambil dari kata " Ling" dalam bahasa Sasak berarti " suara" dan "  sar" artinya  suara atau bunyi air.    Kemaliq Lingsar menyimpan sejarah penyebaran dan kebesaran agama Islam di Desa Lingsar. Adapun nilai-nilai yang terdapat pada Kemaliq Lingsar yaitu :
Nilai Sosial
Nilai social adalah nilai yang menempatkan kasih sayang antara manusia sebagai tempat tertinggi ( Mulyana dan Jalaluddin, 2006:33). Nilai social berhubungan dengan masyarakat, keberadaan Kemaliq Lingsar di Pura Lingsar mempunyai nilai social yang sangat besar terutama bagi dua suku yang terdapat di Desa Lingsar yaitu Suku Sasak dan Suku Bali, yang dimana Suku sasak merupakan penduduk asli Desa Lingsar yang telah mendiami tempat ini sejak perpindahan penduduk atau migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Yunan pada tahun 2000-1500 SM. Pendapat lain mengatakan bahwasanya nenek moyang orang Sasak berasal dari Jawa, yang ditandai dengan penguasaan Lombok oleh Kerajaan Majapahit, pada saat Mahapatih Gajah Mada melaksanakan sumpah palapanya, asal-usul masyarakat Sasak ini terdapat dalam Babat Lombok. Suku  Bali merupakan bangsa pendatang, mereka datang untuk mencari daerah yang subur, dan kemudian mendirikan Kerajaan Pagutan dan Pegasangan.  Kedatangan orang Bali untuk menyerbu  Kerajaan Pejanggik dan Selaparang atas permintaan Arya Banjar Getas. Kedatangan orang-orang Bali ke Lingsar adalah dalam rangka perjalanan Anglurah Karang Asem yang akan berangkat ke Selaparang, akan tetapi mereka mengambil jalan lewat Lingsar. Pada akhirnya atas perintah dari sang Raja dibangunlah Pura Lingsar dan dipugar juga Kemaliq yang terdapat dalam wilayah itu. Itulah  awal keberadaan orang-orang   Bali di wilayah Lingsar.
Keberadaan Kemaliq Lingsar menjadikan mereka hidup rukun dan damai. Kerukunan diantara mereka dapat dilihat dari bangunan Kemaliq Lingsar yang dimana sebagai tempat yang dianggap suci oleh umat Islam Sasak, akan tetapi berada di dalam kompleks Pura Lingsar, selain itu kerukunan mereka juga dapat dilihat dari pelaksanaan upacara Pujawali, yang dilakukan secara bersama-sama antara suku Sasak yang beragama Islam dengan Orang Bali yang beragama Hindu.
Nilai Budaya
Sebagai  situs  sejarah dan budaya, Kemaliq Lingsar mempunyai nilai-nilai budaya yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat yang berada di wilayah Lingsar.  Misalnya saja  desa  Lingsar menjadi terkenal, karena adanya Kemaliq dan Pura Lingsar  yang menarik  pengunjung  untuk melihat  peninggalan  sejarah  tersebut.
Nilai agama
Keberadaan Kemaliq Lingsar dianggap suci oleh dua etnis Sasak  dan Bali dapat meningkatkan hubungan antar mereka. Bagi umat Islam Kemaliq Lingsar dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena adanya penyebaran agama Islam di Wilayah Lingsar. Sedangkan bagi Umat Hindu Kemaliq juga dijadikan sebagai tempat pemujaan terhadap Sang Hayang Widi Wase.

Awal mula perang Topat
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Sasak di Kecamatan Lingsar dan sumber literatur yang ada, tradisi perang topat berawal dari kisah  Syekh K.H. Abdul Malik, leluhur masyarakat Sasak yang menghilang setelah menciptakan mata air. Sodli ( 2010), menyatakan bahwa menurut kepercayaan masyarakat setempat, pada suatu malam bulan purnama yang hening yang bertepatan dengan tanggal 15 bulan Qomariyah, adalah sasih kapitu atau bulan ketujuh menurut wariga Sasak. Syekh K.H. Abdul Maliq berkhalwat sepanjang malam. Beliau baru bangun dari tempat khalwatnya menjelang salat Ashar esok harinya, dan kemudian berjalanan menuju lereng  sebuah bukit yang tandus, dan hanya ada satu pohon di sana yaitu pohon waru. Syekh K.H. Abdul Malik kemudian berdoa dan menancapkan tongkatnya ke dalam tanah. Menurut cerita yang mengatakan bahwa ketika tongkat diangkat, maka keluarlah mata air yang sangat besar dengan suara gemuruh yang menyebabkan bunga pohon waru berguguran. Rarak Kembang Waru adalah nama acara ketika bunga waru gugur.
Masyarakat Lingsar percaya bahwa nama Lingsar berasal dari suara gemuruh yang dihasilkan oleh tancapan tongkat Syekh K.H. Abdul Malik. Kata Ling" dalam bahasa sasak berarti suara, dan " sar" berarti bunyi air yang besar dan deras. Munculnya mata air kemudian diperingati setiap tahun, yaitu saat bulan purnama, sasih kapitu wariga Sasak, yang dikenal sebagai Rarak Kembang waru atau yang saat ini disebut sebagai Perang Topat.
Menurut versi sejarah lain, perjalanan prajurit kerajaan Karang Asem ke Lombok adalah awal didirikannya Pura Lingsar, tempat perang Topat dimulai. Versi ini mengatakan bahwa Pura Gaduh dan Kemaliq dibangun sekitar awal abad ke-18. Sejarah kedua pura dimulai dengan masuknya pasukan kerajaan Karang asem ke Lombok. Menurut cerita tokoh masyarakat Hindu di Lingsar dan Budiwanti ( 2000); Sodli ( 2010), pasukan kerajaan Karang Asem mendarat di pantai sebelah barat pulau Lombok dan kemudian bergerak ke pedalaman melalui Gunung   Pengsong, Perampuan, dan melanjutkan perjalanan menuju Pagutan, Pegesangan, dan Gunung Sari. Dari gunung sari pasukan kemudian bergerak kea rah timur menuju Punikan dan bermalam di tempat ini.
Pada malam hari ketika pasukan beristirahat, mereka mendengar suara gemuruh, lalu keesokan harinya mereka berangkat menuju suara gemuruh tersebut. Pasukan kerajaan tiba di lokasi yang sekarang di kenal sebagai " Ulon" dan tidak jauh dari Ulon mereka kemudian menemukan sumber suara tersebut yang berupa sumber air.
Menurut Budiwanti 2000; Sodli, 2010) pemimpin pasukan yaitu Anak Agung Ketut ( adik Raja Karang Asem) berdialog dengan pemangku adat Kemaliq yang bernama Indrawan dan berjanji akan membangun pura Gaduh di samping Kemaliq Lingsar apabila nanti sudah menguasai Pulau Lombok.
Ritual Perang Topat
Perang Topat mulai diadakan sejak keluarnya mata air Lingsar, sebagai sebuah ekspresi yang menunjukkan rasa sukacita atas peristiwa keluarnya mata air . Perang Topat ini diadakan oleh Syaikh KH. Malik untuk mendamaikan dan merukunkan kehidupan masyarakat di Lombok. Kemaliq Lingsar dijadikan juga sebagai tempat perayaan Perang Topat. Perang Topat sesungguhnya adalah sebagai napas tilas akan perjalanan yang dilakukan masyarakat untuk mengenang perjuangan Syaikh KH. Abdul Malik. Tradisi perang Topat dilakukan secara bersamaan, antara umat Hindu dan Islam dalam waktu pelaksanaan setahun sekali. Perang ini merupakan suatu symbol keharmonisan dalam kehidupan beragama, meskipun diantara dua agama tersebut memiliki pemahaman yang berbeda, tetapi mampu membangun sebuah kebersamaan melalui nilai-nilai kearifan local yang ada pada tradisi perang Topat tersebut.  ( Jayadi,2017). Kedua umat Hindu dan Muslim melaksanakan tradisi perang Topat dengan harapan untuk mendapatkan keberkahan dari beliau Sang Wedi ( Tuhan), yang dapat memberikan keselamatan serta kenyamanan bagi arwah leluhur.
Dalam pelaksanaannya perang Topat tidak hanya diikuti oleh  penduduk setempat, tetapi juga diikuti oleh orang-orang yang berasal dari luar daerah. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada bulan keenam menurut perhitungan Kalender Bali atau  bulan ketujuh kalender sasak atau sekitar bulan November- Desember Tarikh Masehi. Pada dasarnya tradisi ini dilaksanakan sebelum musim menanam padi tetapi sudah masuk musim penghujan. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa, sebagai dasar untuk mengembalikan hasil tanah berupa ketupat yang terbuat dari beras atau padi menuju asalnya ( tanah Lingsar). Hasil ini diyakini sebagai pupuk untuk benih padi yang akan ditanam berikutnya.
Menurut Yuniati et.al ( 2015), ada empat tahapan yang harus dilalui dalam pelaksanaan ritual perang topat meliputi persiapan, pembukaan, acara inti dan penutup. Dua suku yang mengempon pura Gaduh dan Kemaliq bekerja sama untuk mempersiapkan ritual perang Topat. Selama proses persiapan , terjadi komunikasi intens anata pengurus Pura Gaduh dan Kemaliq untuk berbicara tentang hal-hal teknis pelaksanaan ritual. Rapat-rapat diadakan untuk mengatur persiapan dan semua kebutuhan dan pembagian tanggung jawab untuk melakukan ritual. Komunikasi terjadi di internal etnis dan antar etnis ( komunikasi terjadi antar budaya dan antar etnis). Peristiwa ini juga menunjukkan seberapa harmonis hubungan antara kelompok etnis yang berbeda agama di wilayah Lingsar tersebut.
Menurut tokoh adat setempat, proses upacara persiapan upacara keagamaan  seperti perang topat  pada zaman kerajaan dahulu telah menghasilkan perjanjian yang indah dimana mereka sangat toleran dan menghargai satu sama lain, sebagai contohnya dalam menentukan hewan korban. Kedua kelompok etnis setuju untuk tidak menggunakan sapi, karena orang Hindu  menganggap hewan ini suci dan tidak menggunakan babi karena hewan ini haram bagi umat Islam, jalan tengah dan kesepakatan untuk mencapai keharmonisan diambil yaitu menggunakan kerbau yang dapat diterima oleh kedua kelompok etnis ( Sodli, 2010; Yuniati, 2015) mengatakan bahwa tradisi ini masih dilakukan hingga saat ini, dan mereka saling sepakat untuk membagi tugas dan tanggung jawab dan menyelesaikan semua persiapan ritual.
Tahap kedua, yaitu tahapan pembukaan dimana dilakukan ritual penaek gawe. Pada prosesi ini, kegiatan ritual yang dilakukan adalah Mendak kebun odek dan murwa daksina dalam agama hindu, dan napak tilas dalam kepercayaan Sasak. Pada upacara ini hewan kurban berupa kerbau diarak mengelilingi kedua pura, terlihat kedua kelompok etnis bekerja sama untuk membantu satu sama lain. Pada ritual ini terlihat bagaimana kerukunan dibangun diantara dua kelompok etnis dan agama yang berbeda untuk satu tujuan yang sama, yaitu berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memperingati peristiwa penting yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka serta mengharapkan kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia.
Pada tahap ketiga yaitu upacara inti, yakni perang Topat, komunikasi intens terjadi antara kedua etnis setelah menyembelih kerbau, yang merupakan hewan kurban. Kedua etnis setuju bahwa penyembelihan hewan kerbau di lakukan sesuai dengan ajaran Islam, komunitas Bali menerimanya dnegan tulus cara tersebut. Mereka bekerja sama membuat pesaji, nyerahang Topat, mendak, ngaturang pesaji dan perang topat. Ritual ini dilakukan secara bersama dengan kegembiraan dan saling tolong menolong antara kelompok etnis yang berbeda keyakinan.
Demikian juga berlaku untuk ritual keempat, yang disebut ritual beteteh ke Sarasuta. Pada acara ini kedua kelompok etnis bekerja sama dan melakukan upacara ritual dengan penuh keharmonisan dan membantu satu sama lain. Menurut uraian tersebut terlihat jelas bahwa komunikasi ritual yng terjadi pada proses dan rangkaian acara yang terjadi selama perang menunjukkan bahwa komunikasi harus selalu ada dan keharmonisan dan toleransi diantara orang-orang  yang berbeda agama.
Dari kalangan anak muda juga terus dilibatkan dala perang topat. Hal ini karena perang topat merupakan warisan turun temurun agar mereka tetap tahu dan melaksanakannya. Hal ini juga merupakan cara untuk melestarikan budaya dan memperkenalkannya kepada kalangan-kalangan remaja. Dalam melaksanakan perang topat ini, umumnya tidak ada kendala dalam prinsip-prinsip pelaksanaanya. Namun ada beberapa pihak yang sengaja melakukan kesalahan misalnya saja topat yang seharusnya di lempar diganti menjadi telur busuk, guna untuk menghindari kerusuhan tersebut maka dalam pelaksanaanya melibatkan pihak keamanan atau pihak kepolisian.
Dalam pelaksanaan perang topat menggunakan dana dari penghasilan pura, disekitaran pura terdapat sawah dan tempat sembhayang, yang dimana setiap orang yang datang bersembahyang memberikan dana 10.000-50.000 bahkan nominalnya biasa lebih.
Komunikasi dalam Perang Topat
komunikasi dalam ritual perang topat dapat membangun keharmonisan dan toleransi antar etnis di Lombok. Ritual perang topat merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Sasak di Lombok sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sebagai sarana untuk mempererat hubungan antar etnis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dalam ritual perang topat memainkan peran penting dalam membangun harmoni dan toleransi antar etnis di Lombok. Komunikasi yang terjalin antar etnis selama ritual perang topat mampu memperkuat hubungan social dan mempererat ikatan antar etnis. Selain itu, komunikasi juga mampu membangun pemahaman yang lebih baik antar etnis dan memperkuat rasa saling menghormati
komunikasi dalam ritual perang topat di Lombok merupakan media untuk mencari kesepahaman dan kesepakatan antar etnis. Ritual ini melibatkan komunikasi antar etnis yang terjadi dalam prosesi ritual perang topat, yang menjadi sarana untuk memelihara nilai-nilai sakral, mempererat  hubungan antar etnis, serta menciptakan nilai toleransi dan pendamaian di masyarakat. Proses komunikasi ritual yang terjadi pada upacara perang topat meliputi interaksi dan komunikasi intens antara kedua etnis, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan perang topat. Selama ritual ini, tidak ada rasa benci dan dendam, dan komunikasi yang terbuka serta toleransi yang tinggi diperlukan untuk saling mempersatukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun