Tak banyak orang yang sadar akan nasib jurnalisme di masa mendatang. Menurut Candraningrum (2020), sebagian mereka yang tidak sadar akan nasib jurnalisme ini merupakan kaum muda yaitu generasi Z (kelahiran 1995-2010) dan generasi Y (kelahiran 1977-1944) yang lebih cenderung mengkonsumsi informasi yang ringan, renyah, dan tidak memusingkan, terutama pada media-media online.
Wenseslaus Manggut (dalam Candraningrum, 2020), sebagai ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyatakan bahwa tingginya ketertarikan ini mampu mengubah wajah jurnalisme online dari segi konten, model bisnis, dan juga hambatan yang dihadapi.
Lalu, bagaimanakah nasib jurnalisme di masa yang akan mendatang?
Nasib Jurnalis dan Media Â
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di tahun 2020, dijelaskan bahwa adanya kenaikan yang signifikan kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun tersebut. Selain kekerasan, serangan siber kepada media massa juga menjadi salah satu ancaman kebebasan pers.
AJI juga melakukan riset kondisi ketenagakerjaan jurnalis di 8 kota pada tahun 2015. Hasil riset memperlihatkan adanya ketimpangan yang cukup lebar antara biaya hidup, biaya operasional di sejumlah daerah dibandingkan hasil mereka.
Kesenjangan tampak jelas karena jumlah kebutuhan hidup jauh di atas rata-rata upah yang diberikan perusahaan media.
Selain itu, ditemukan juga jawaban responden yang mengatakan bahwa kontrak kerja yang dianggap belum mengatur hal-hal mendasar, misalnya tunjangan kerja, hari libur, hingga penerapan gaji pokok.
Tak hanya berdampak pada jurnalis saja, hal ini juga berdampak pada  menurunnya pendapatan juga berpengaruh terhadap kelangsungan operasional sebuah perusahaan media.
Apalagi dapat dikatakan saat ini merupakan masa pemulihan perusahaan media karena dampak pandemi yang memengaruhi omset usaha pengiklan yang mengurangi anggaran iklan dan promosi di media massa.