Mohon tunggu...
Anastasia Nessa
Anastasia Nessa Mohon Tunggu... Lainnya - as a student

dirimu adalah inspirasimu

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Jurnalisme yang Semakin Tanpa Daya

16 Oktober 2022   21:33 Diperbarui: 16 Oktober 2022   21:43 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber  www.romelteamedia.com 

Informasi yang disebarkan semakin tidak lagi didominasi oleh industri pers. Makin banyak aktor dengan berbagai macam kepentingan terjun dan mulai memproduksi juga menyebarkan kepentingan-kepentingan mereka itu melalui teknologi baru, yaitu internet. Di Indonesia misalnya, pengguna internet sangat bertumbuh dengan pesat, dengan sebanyak 67% merupakan pencari informasi. Tentu saja, hal ini menjadi pasar potensial bagi industri berita. Namun, kemudahan internet membuat semua orang seakan-akan terbuai dengan teknologi ini. Sayangnya, transformasi ke dunia digital ternyata tidak dapat berjalan dengan mulus. Teknologi media seakan-akan diatur sesuka hati. Dalam kondisi seperti ini, berita digital justru semakin gencar dalam memproduksi konten.

Persaingan, Keuntungan, dan Ke-viralan 

Gencarnya produksi konten ini membuat beberapa wartawan bekerja di bawah tekanan. Mereka memproduksi lebih banyak, ada yang bertanggung jawab hingga 10 artikel dalam sehari. Hal ini membuat para pekerja media untuk 'mengakali' liputan dengan mencari berbagai angle dari sebuah liputan demi menghasilkan banyak artikel. Bahkan, mereka tak segan untuk memaksakan berita ketika tidak ada yang pantas untuk diberitakan. Hal ini dapat menyebabkan wartawan kehilangan kemampuan mereka dan jutsru membuat mereka semakin pasif dalam pekerjaannya.

Adanya persaingan juga menjadi sebuah latar belakang dari jurnalisme yang makin hari makin kian tanpa daya. Tanpa daya ini memiliki artian bahwa jurnalisme saat ini tidak memperhatikan kredibilitas, namun kecepatan dan keviralan semata. Jurnalis saat ini ingin berlomba-lomba mengadu kecepatan siapa yang lebih cepat untuk mengangkat sebuah isu atau berita pada artikelnya, yang terkadang mereka lupa untuk memperhatikan kebenaran dari sebuah berita yang dibuat.

Dalam buku Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika (Margianto & Syaefullah, 2019: 29), dikatakan bahwa dalam media digital, traffic menjadi hal yang penting dan menjadi latar belakang krisis dalam jurnalisme karena hal ini sangat menguntungkan bagi sebuah perusahaan. Dalam ruang redaksi, traffic ini diperoleh sebagai hasil produksi berita-berita yang dibuat oleh wartawan. Berita-berita yang di-klik oleh pembaca akan menghasilkan pageview (jumlah halaman yang dilihat pengunjung). Tentunya dalam menghasilkan pageview ini, gaya penulisan berita yang menarik dan ter-update akan memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan pageview. Praktik jurnalisme online di Indonesia sendiri adalah tulisan berita yang sepotong-sepotong atau berita yang terpecah-pecah yang dianggap sebagai nature online karena berita online harus disajikan dengan cepat.

Siapa Cepat, Dia Paling Update 

Selanjutnya, jurnalisme media online harus memilih antara cepat dan akurat. Persoalan "cepat" ini seakan-akan menjadi tujuan baru yang kemudian terkesan mengalahkan "nilai-nilai" yang lain. Para pekerja media seperti reporter dan editor, saling adu cepat untuk menulis berita. Demi adu cepat ini, sering terdengar bahwa adanya rekayasa jam tayang yang dilakukan di ruang-ruang redaksi demi menjadi media pertama yang menayangkan berita tertentu. Adanya adu cepat ini kemudian berimplikasi pada ketepatan sebuah berita. Demi kecepatan, seringkali berita-berita yang ditayangkan tanpa ketepatan, mulai dari hal sederhana yaitu ejaan nama narasumber hingga hal yang serius yaitu substansi berita. Demi kecepatan, media seakan tidak mempedulikan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar. Uji berita (verifikasi dan konfirmasi) bukan menjadi hal yang penting. Prinsip update dan mengalir merupakan sebuah nilai baru yang hadir dalam media-media online. Soal kecepatan dan kebenaran ini masih menjadi sebuah pergumulan bagi para pekerja media saat ini.

Dengan adanya berita-berita yang tidak benar dan disebarkan kepada masyarakat luas, tentu saja hak masyarakat dalam mendapatkan berita kurang dipedulikan. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar seperti yang tercantum dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) butir 1, yang berbunyi, "Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi," seakan tidak dipedulikan lagi oleh kalangan pekerja media online. Selain itu, masyarakat juga akhirnya tidak mendapatkan didikan yang baik dari berita-berita online yang ada. Media online juga perlu menyadari bahwa mereka memiliki kewajiban untuk mendidik para pembaca. Bukan hanya mendidik dari segi pengetahuan yang ditulis dalam berita, namun juga tentang cara memahami gaya pemberitaan online. Misalnya saja, ketika sebuah berita ditayangkan, media online wajib untuk memberitahu apakah berita yang ditayangkan sudah teruji akurasi dan keberimbangannya.

Implikasi Bagi Masyarakat Luas 

Sumber peru21.pe 
Sumber peru21.pe 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun