Namun saat anak beranjak besar dan mulai punya keinginan sendiri, ibu pun merasa frustasi dan mudah marah. Seperti lingkaran setan, penyesalan dan upaya ibu mengubah sikap pemarahnya justru berdampak meningkatkan frekuensi dan intensitas kemarahannya. Ia terjebak melakukan kekerasan verbal kepada anak selama bertahun-tahun.
Sampai pada akhirnya sang ibu merasa kelelahan dan tidak berani lagi mengharapkan perubahan. Ia tahu, bahwa percuma saja menyesal dan merencanakan perbaikan diri, karena akan berujung pada kemarahan yang semakin sulit ia kendalikan.
Pada titik terbawah itu, ibu secara bulat mengakui dan menerima dirinya yang buruk dan pemarah secara apa adanya.
Sungguh ajaib! Penerimaan diri penuh tanpa tercemari kendali ego untuk memaksakan perubahan justru secara alamiah menciptakan perbaikan sejati. Cakrawala pandang ibu lebih lapang menerima perbedaan secara apa adanya. Perilaku marah-marahnya pun berhenti. Â Â Â
Dari satu ayat dan dua kisah hidup di atas, penulis pun belajar:
- Fungsi norma adalah sebagai acuan perilaku.
- Manakala kenyataan belum sesuai dengan standar norma, refleks muncul penghakiman dan frustasi.
- Tanpa sadar, penghakiman-frustasi mencengkram jiwa.
- Jatuh bangun semakin intens sampai akhirnya kelelahan sendiri dan berhenti.
- Sikap dualitas off pun alamiah menuntun jiwa lapang menerima yang ada.
- Muncul hasrat berbelas kasih.
- Terus mawas diri untuk menyuling kata hati.
- Serahkan sulingan kata hati dalam doa.
- Siap berbelas kasih. Â
Bukan keinginan pribadi dan standar dunia yang mau kuperjuangkan, melainkan kehendakMu untuk berbelas kasih tanpa syarat.***(eL) Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H