Ketakutan akan kekurangan. Perasaan tidak cukup dan ingin tambah. Kedua dorongan itu mendesak saya untuk berulang kali melakukan gonta-ganti pekerjaan. Untungnya, saya dapat menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan. Hanya saja, saya terus berusaha mencari peluang penghasilan yang lebih besar.
Hasilnya adalah rasa senang dan sejahtera untuk waktu sejenak. Namun kembali saya merasa gelisah dengan pola keadaan yang serupa. Saya masih merasa tidak cukup dan ingin tambah. Pasalnya saya mengalami seperti yang dituliskan oleh editor Kompasiana: "...baru awal bulan aja rasanya udah kayak tanggal tua."Â
Maka lagi-lagi rasa takut kekurangan mendera dan mendorong keinginan saya untuk pindah. "Manik" kejadian  berganti pekerjaan pun kembali menambah untaian pola karir yang saya ronce sejak tahun 2006 - 2020.
Setelah 14 tahun lalu lalang tanpa pijakan yang kuat, mulai muncullah rasa penyesalan. Terutama saat saya melihat teman-teman yang setia meniti karir sejak awal di satu tempat. Karir mereka kini tumbuh menjulang tinggi. Sementara saya, karena bolak balik ganti pekerjaan, berakibat karir tidak tumbuh dan tetap pada posisi awal saja.
Pada akhir babak pencarian itu, saya sungguh-sungguh bertanya ke dalam diri:Â
"Pekerjaan apa yang mati-matian pasti saya tekuni, apapun konsekuensinya?!"
Pekerjaan berwirausaha bersama suami pun muncul sebagai jawaban. Ini saya jadikan dasar berpijak dalam mengambil aneka pekerjaan sampingan lainnya.
Keberanian mengambil keputusan, dan melepaskan peluang yang tidak sejalan dengan keputusan, membuat batin saya siap menanggung kondisi tidak ideal yang ada di depan mata.Â
Baca juga: Menjalani Hidup Ibarat Mendaki BukitPernah suatu pagi, kami tidak memiliki uang sepeser pun untuk makan pada hari itu, sampai suami kemudian menjual kiloan buku-buku tulis bekas. Lucunya, pada siang hari yang sama, saya menerima pekerjaan dadakan yang tumbennya lagi langsung di bayar di muka.Â
Pemeliharaan semesta yang demikian sesungguhnya sudah terjadi sejak dulu, dan konsisten berulang sampai sekarang. Hanya saja, dulu itu, saya kurang menyadari dan mensyukurinya, karena terlanjur buta oleh rasa takut kekurangan.