Adakah seorang guru yang kompeten, namun gagal mendidik anak kandungnya? Adakah seorang pengusaha sukses yang kesulitan dalam memberdayakan potensi sanak saudaranya? Adakah pribadi mumpuni tapi juga gagap menghadapi tantangan untuk mengubah orang lain?
Ada! Ada! Ada! Â
Ibu A adalah seorang guru yang cerdas, kreatif, dan baik hati. Tidak heran, beliau disukai oleh para muridnya. Demikian juga oleh anak-anaknya di rumah. Namun sayangnya, beliau tidak mampu mendidik anak-anak di rumah untuk mengikuti arahan. Justru sebaliknya, mereka sering kali protes dan tidak mau mengikuti arahan dari sang ibu yang berprofesi guru. Hal ini sempat membuat ibu A merasa frustrasi.
Bapak B terkenal sebagai seorang pengusaha yang bertangan dingin. Meskipun sudah pensiun, beliau tetap dipercaya dan diminta opininya oleh para mitra bisnis. Bawahan-bawahannya juga banyak yang kemudian berhasil mengembangkan usaha sendiri. Justru sanak saudara terdekat yang masih jatuh bangun sampai dengan sekarang. Walaupun beliau sudah mendukung mereka dengan modal usaha dan nasihat bisnis, namun pada akhirnya mereka selalu bangkrut dan kembali bergantung kepadanya. Â Â
Bapak C adalah seorang pelatih kaum muda yang disegani pun dicintai. Saat beliau menua, pemuda pemudi yang beliau latih sudah genap menjelma dewasa. Mereka tumbuh dengan karakternya masing-masing. Pada waktu reuni diadakan, sang pelatih diminta memberikan sambutan. Beliau menyatakan bahwasanya sampai dengan sekarang, beliau tetap belum bisa memastikan orang lain untuk berubah, bahkan dirinya sendiri pun kadang masih terhambat untuk mengubah kebiasaan lama pribadi berdasarkan pemahaman barunya. Â Â
Jika memang demikian adanya, apakah yang salah? Kenyataan tersebut di atas? Atau harapan umum yang tidak realistis?
Psikolog Ifa Hanifah Misbach (2024) bercerita bahwa beliau pernah merasa tertampar oleh pernyataan seorang guru senior (Alm. Mbah Mun) mengenai tugas seorang guru:
"Guru tidak sama dengan tukang ngajar. Tugasmu sebagai seorang guru bukan untuk membuat anak didikmu pintar, namun untuk memperbaiki dirimu sendiri sebagai pendidik, yaitu dengan cara menemani dan menghantarkan anak didikmu."
Penulis pun tertohok dengan bagian kalimat: "Tugasmu sebagai seorang guru ... untuk memperbaiki dirimu sendiri sebagai pendidik". Ini berarti, kesalahan terletak pada arah harapan perubahan, yaitu  orang lain (eksternal), dan bukannya diri sendiri (faktor internal).
Penulis jadi teringat dengan salah satu konsep Stoltz (2000, dalam Levianti, 2008) mengenai ketangguhan seseorang dalam mengatasi kesulitan (populer dengan istilah inteligensi adversiti). Stoltz berpandangan bahwa seseorang dapat menyelesaikan masalah secara tuntas hanya jika ia mau mengakui bahwa sumber utama masalah adalah dirinya sendiri. Hal ini akan mendorong seseorang untuk berhenti menyalahkan dan tergantung kepada pihak lain, serta mengambil tanggung jawab penuh dalam berupaya mentuntaskan permasalahannya.