Penulis juga teringat dengan episode sepasang suami istri, di mana istri mengeluhkan suaminya yang enggan bekerja keras meskipun ia sudah memintanya berulang kali, sementara suami merasa tidak bermasalah dengan sikap pribadinya dan mengabaikan keinginan istrinya itu. Sang istri sempat merasa kewalahan sendiri berperan ganda (mengurus rumah tangga dan turut mencari nafkah), serta merasa semakin terbebani dengan sikap suaminya yang santai (baik dalam memperoleh nafkah maupun membantu sekadarnya dalam ursuan rumah tangga).
Pada akhirnya, permasalahan pasangan suami istri itu selesai dengan tuntas manakala sang istri bersedia melepaskan tuntutannya kepada suami untuk berubah. Ia fokus mengubah sikapnya sendiri dengan cara berhenti menghakimi keadaan dan tulus menerima yang ada. Ia belajar menempa dirinya untuk bekerja lebih keras agar dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan keluarga.
Sikap tulus istri dalam bekerja keras bagi keluarga ternyata malah menggugah suaminya untuk ikut bekerja keras juga tanpa diminta. Relasi mereka berdua kembali harmonis, bahkan menjadi sinergis.
Penulis pun teringat dengan keluhan seorang guru penggerak. Beliau berusaha keras untuk mengubah salah seorang murid dengan berbagai cara, mulai dari melibatkan guru Bimbingan Konseling, orang tua, psikolog, dan kepala sekolah. Namun beliau masih terus mengeluhkan muridnya yang belum bisa berubah sesuai harapan. Â Â
Sepertinya alm. Mbah Mun benar. Guru penggerak tersebut tampaknya lebih fokus pada harapannya untuk mengubah sang murid daripada memperbaiki dirinya sendiri sebagai pendidik. Alih-alih menghakimi dan terus menuntut muridnya berubah, bisa jadi perubahan nyata malah akan terjadi saat beliau merangkul sikap penolakannya dan belajar menjadi teman sejati.***
Rujukan:
Levianti. 2008. Macam-Macam Inteligensi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H