Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Emang Boleh, Memberi untuk Orang Lain dan Merugikan Anak Sendiri?

25 Desember 2023   16:03 Diperbarui: 25 Desember 2023   16:09 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksi Penulis

Wahai! Bagaimana remaja Clark dapat langsung ikhlas dengan tindakan memberi yang dilakukan oleh ayahnya, meski itu berakibat merugikan kepentingan dirinya sendiri sebagai anak?

Jujur, penulis sempat merasa marah, saat haknya sebagai anak menjadi berkurang ketika ayah memberikan sebagian harta milik dan waktu hidupnya kepada keluarga barunya.

Apa yang membuat penulis marah dan tidak ikhlas dengan tindakan memberi ayah? Adakah itu perasaan belum cukup dan hasrat ingin menerima lebih dari yang sudah diberi?

Ignasius Loyola (dalam Darminta, 1993) merumuskan tiga dosa pokok manusia sebagai berikut:

  • Dalam keadaan (yang sesungguhnya) penuh rahmat, saya tidak cukup menaruh hormat, dan bersyukur tidak secara penuh, melainkan marah terhadap pemberi rahmat.
  • Dalam keadaan (yang sesungguhnya) penuh rahmat, saya tidak cukup menaruh hormat, dan bersyukur tidak secara penuh, melainkan menginginkan yang lain (yang tidak ada).
  • Dalam keadaan (yang sesungguhnya) penuh rahmat, saya tidak cukup menaruh hormat, dan bersyukur tidak secara penuh, melainkan (ngotot) berusaha untuk memperoleh keinginan saya.

Rumusan ketiga dosa pokok manusia dari Loyola tersebut di atas mengandung satu benang merah. Situasi hidup yang ada di depan mata sesungguhnya berkelimpahan rahmat. Ibaratnya seperti hidup di dalam kerajaan surga pada masa sekarang. Hanya saja, kebanyakan manusia pada umumnya tidak mengalami keberlimpahan rahmat tersebut. Karena sikapnya sendiri yang tidak cukup menaruh hormat terhadap rahmat hidup yang terberi di depan mata, dan bertingkah syukur tidak secara penuh.   

Saat seseorang protes dengan tindakan orang tuanya dalam memberi, yang sedang terjadi adalah ia tidak sadar bahwa ia tidak cukup menaruh hormat dan bersyukur tidak secara penuh atas rahmat terberi di hadapannya. Alih-alih menaruh hormat dan bersyukur, ia bersikap membanding-bandingkan dan menghakimi pemberian rahmat.

Setelah bercermin, dan menyadari bahwa rasa marah penulis yang menggugat tindakan memberi ayah berasal dari ketidaksadaran diri, sikap penghakimannya pun berhenti; Berganti dengan sikap penerimaan. Secara alamiah, penulis pun menaruh hormat atas segala yang ada, dan bersyukur penuh atasnya. Dan spontan muncul semangat untuk belajar ikhlas memberi. Semoga tulisan ini bermanfaat.***

Rujukan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun