Sebagai seorang ibu, tidak ada hal yang lebih penting daripada kesejahteraan lahir dan batin dari anak-anaknya. Tujuan mulia ini mulai diwujudkan dengan menyusui secara eksklusif, minimal selama 4 bulan pertama kehidupan anak.
Tentu saja, ibu menghadapi ragam rintangan. Misalnya, rasa khawatir apakah Air Susu Ibu (ASI)nya cukup memenuhi kebutuhan anak, perjuangan ibu mengelola kelelahan, luka puting payudara, memeras ASI secara natural, maupun penolakan bayi terhadap perasan ASI. Penulis ingin berbagi pengalaman terkait, barangkali dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apakah ASI Ibu Cukup Memenuhi Kebutuhan Anak?
Menjelang kelahiran anak pertama di Rumah Sakit (RS) St. Carolus Jakarta, penulis menerima penjelasan mengenai kolostrum (cairan pertama dari ASI yang bermanfaat untuk daya tahan tubuh anak); dan pentingnya menyusui secara eksklusif minimal selama 4 bulan pertama anak (perkembangan anak optimal dalam hal daya tahan, kecerdasan, emosi, dan relasi kedekatan / attachment).Â
Â
Penulis diberi waktu untuk memutuskan dan menandatangani surat pernyataan, apakah ibu menyusui bayinya secara eksklusif atau tidak. RS tidak akan memberikan asupan apapun bilamana ibu memilih untuk menyusui bayinya secara eksklusif. Komitmen dan integritas pihak RS menguatkan keyakinan diri ibu untuk memilih yang terbaik, maupun siap menjalani rintangan apapun dalam rangka mewujudkan pilihan terbaik itu.
Pada kenyataannya, tidaklah semudah yang dibayangkan. ASI ibu tidak keluar selama hampir 24 jam setelah bayinya lahir. Bayi menghisap terus, semakin lama semakin kuat, seperti sangat kehausan, bahkan sampai ke taraf "menggila", dan akhirnya menangis kencang karena tidak setetes pun ASI yang keluar, lalu tidur kelelahan sesudahnya. Pola ini terus berulang sepanjang 24 jam pertama. Hati ibu pun terketuk: "Apakah anakku kelaparan? Apakah idealismeku terlalu berlebihan? Apakah keputusanku salah?"
Pihak RS tetap teguh berkomitmen dan konsekuen melayani ibu secara total. Misalnya, mendampingi ibu saat berusaha menyusui bayinya, memberi kesempatan pada ibu untuk istirahat saat bayinya tidur, ataupun menenangkan ibu dan memotivasi ibu untuk menjaga hati dan asupannya.
Ayah membantu ibu dengan cara melayani segenap kerabat yang menjenguk. Ayah juga hadir sepenuh hati saat ada sejenak waktu berdua dengan ibu.
Dukungan lingkungan turut menumbuhkan satu motivasi kunci di dasar hati ibu. Teladan hidup apakah yang hendak ibu bangun bersama anak di awal kehidupannya? Apakah integritas? Ataukah toleransi yang tidak perlu (untuk kenyamanan, bukan kebutuhan)?
Puji syukur, setelah melalui gelombang emosi selama hampir 24 jam, ASI ibu keluar. Bahagia sekali anak dapat menerima kolostrum sesuai haknya!