Nama saya eMKa. Saya manusia biasa. Sama seperti Anda. Yang menjalani hidup karena didorong oleh keinginan baik. Tujuan. Cita-cita masa depan. Ataupun juga kebutuhan. Langkah saya dipandu oleh wawasan pengetahuan. Nilai-nilai luhur. Dan tentu saja hati nurani. Lihat! Bukankah kita sama?!
Usia saya genap 20 tahun pada hari ini. Ya. Saya dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 2003. Tepat bersamaan dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Oleh karena itulah, ayah saya, Yamin, menamai saya eMKa.
Beliau berharap agar saya tumbuh menjadi insan yang bermanfaat. Menegakkan keadilan dalam hidup bersama untuk kesejahteraan semua. Kalau keadilan salah dinormakan, melalui norma jugalah keadilan perlu kembali saya tegakkan. Pun manakala saya salah dalam menegakkan keadilan, akan ada norma yang menegakkannya dan mengadili saya. Supremasi hukum. Tidak ada pandang bulu. Lihat! Bukankah kita setara?!
Ya. Dan sama seperti Anda. Ulang tahun memberi saya rasa istimewa. Rasa yang berbeda dari biasa. Hasrat untuk memaknai perjalanan hidup. Dulu, sekarang, dan ke depan. Meski ayah Yamin telah meninggalkan dunia, teladan hidup beliau dan doa harapan yang beliau sematkan dalam nama saya, terus menjadi arah dalam lakon hidup saya.
Perkenalkan. Ayah saya, Yamin, adalah seorang penyair. Beliau menempatkan bahasa sebagai alat pemersatu bangsa. Melalui bahasa jugalah saya berlakon. Lakon menegakkan keadilan. Maukah Anda menyimak bila saya sedikit bercerita?
Sejak kecil, saya senang mendengarkan ayah Yamin. Saya ingat, waktu usia saya 5 tahun, ayah bercerita tentang tugas hakim konstitusi. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ketua MKRI pertama), tugas hakim konstitusi hanya tiga, yaitu bersidang, membaca, dan berdiskusi. Spontan saya berseru, "eMKa suka membaca dan berdiskusi, Yah! Kalau sudah besar, eMKa mau jadi hakim konstitusi!"
Semasa sekolah dasar, saya merasa giat belajar. Bukan hanya karena teladan ayah Yamin yang gemar menuntut ilmu dan memiliki berbagai gelar. Bukan pula hanya karena hati saya terpaut untuk mengejar cita-cita menjadi hakim konstitusi ketika saya nanti dewasa. Melainkan juga oleh karena iklim gairah belajar yang dibangun oleh salah satu bapak pemimpin kita.
Beliaulah Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H., ketua MKRI yang kedua. Saya membaca ragam beritanya. Putusan-putusan Pak Mahfud MD dianggap dapat memecah kebuntuan hukum ketatanegaraan dan mengedepankan prinsip keadilan substansial. Terobosan yang beliau lakukan menggairahkan diskursus akademis di bidang Hukum Tata Negara (HTN). Sampai-sampai lahirlah lembaga-lembaga studi HTN di berbagai kampus. Juga di organisasi-organisasi sejenis yang bersifat lintas kampus.
Gairah masyarakat akan pengembangan hukum konstitusi pun bergayung sambut. MKRI mendirikan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi di Cisarua-Bogor. MKRI juga menjalin banyak nota kesepahaman dengan perguruan tinggi, serta memberi anugerah konstitusi bagi guru-guru pendidikan kewarganegaraan yang berprestasi tingkat nasional setiap tahun.
Terobosan MKRI di bawah kepemimpinan Bapak Mahfud MD bahkan dihargai oleh dunia. Tertera di dalam buku Harvard Handbook (Alex Tomsay, 2012), bahwa MKRI adalah lembaga yudisial paling efektif di level internasional, bersama dengan MK Korsel dan MK Kolumbia. Mengapa demikian? Â MKRI dinilai mampu menjaga independensinya, sehingga efektif membuat terobosan baru.