Mohon tunggu...
Humaniora

Ekonomi, Motif Klasik dalam Mencinta

25 Februari 2018   16:59 Diperbarui: 25 Februari 2018   17:09 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Fenomena pelakor alias perebut laki orang sudah sering kita temukan di media sosial. Over exposure yang terjadi pada orang yang dianggap sebagai perebut laki atau suami orang lain ini dimulai sejak salah satu anak publik figur yang bernama Shafa Harris. 

Karena sudah geram akan perbuatan Jennifer Dunn, tertuduh pelakor, Shafa memutuskan untuk mendamprat Jennifer di depan umum. Tidak hanya itu, salah seorang teman Shafa mendokumentasikan peristiwa ini sehingga dapat diunggah di media sosial.

Berawal dari sinilah, muncullah figur pelakor-pelakor lain yang juga dipublikasikan di media sosial. Kebanyakan dari mereka memiliki motif yang sama, yakni ekonomi. Yang terbaru, seorang perempuan bernama Bu Dendy memviralkan videonya memaki-maki selingkuhan suaminya. Menggunakan Bahasa Jawa, Bu Dendy marah sambil melemparkan uang seratus ribuan (yang tidak terbayang berapa juta banyaknya) ke arah Nyla, si pelakor.

Harta, tahta, wanita adalah tiga godaan terbesar laki-laki yang sudah mapan. Semakin tinggi seseorang, maka angin yang menerpa akan semakin kencang. Ekonomi yang baik adalah gerbang dari pendidikan yang bonafit (pengecualian jika anda memiliki otak yang encer dan keberuntungan untuk memperoleh beasiswa), perawatan tubuh agar terlihat menawan, jalan-jalan ke luar negeri, dan masih banyak hal lain yang memerlukan banyak uang. Lelaki kaya yang memiliki kesulitan dalam menjaga kesetiaan dan komitmen kepada pasangannya adalah mangsa yang sempurna bagi pelakor.

Alasan terbanyak mengapa pasangan suami istri memutuskan untuk bercerai adalah masalah ekonomi. Baik ekonomi sulit, ataupun ekonomi mudah namun dengan perselingkuhan dan kurangnya waktu bagi pasangan. 

Saya tidak akan berdakwah tentang bagaimana membangun rumah tangga yang baik, namun melihat fakta di atas kita sudah sepatutnya sadar bahwa uang bukanlah segalanya. Ia bisa menjadi penolong, namun bisa juga menjadi bumerang baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Anda kaya? Bagus, anda bukanlah bagian dari kaum proletar yang terkungkung dalam struktur yang terdominasi. Anda miskin? Tidak apa-apa, mungkin anda kurang beruntung. Kebahagiaan tidak hanya dapat dihitung dengan uang, namun juga dengan bahagia itu sendiri.

Yang perlu dilihat, kehidupan ekonomi sulit dan mudah biasanya merupakan bagian dari lingkaran setan. Kaum proletar dan kaum borjuis memiliki kedekatan dengan lingkungan di sekitar mereka masing-masing. 

Yang kaya dekat dengan kalangan kaya, yang miskin juga dengan miskin. Ada kaum-kaum proletar yang memiliki insting untuk mencari celah berpindah ke kehidupan calon borjuis. Dengan susah payah mereka bersekolah tinggi, berusaha memperoleh tempat di tempat elit politik, kemudian memenuhi kantong mereka dengan uang rakyat. Ataupun mereka yang mencari uang dengan mendekati orang kaya dan menjadi bagian dari mereka.

Pertanyaannya satu, apakah ada orang-orang semacam ini? Banyaaakkkk...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun