Mohon tunggu...
Anastasia Ramandha
Anastasia Ramandha Mohon Tunggu... -

Ajining diri dumunung ana ing lathi..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hitam dan Putih

4 Mei 2014   02:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13991175951115364321

Kisah ini sarat makna, dihadirkan tiba-tiba saja dikehidupan saya. Melalui kisah ini mungkin Tuhan bermaksud mengajari saya akan nilai-nilai kehidupan secara nyata. Bagi nabi dan rasul, sudah sepantasnya diturunkan melalui wahyu. Bagi saya, manusia, jatahnya dengan cara yang sederhana.

Siang hari di pertengahan Desember..

Gerimis baru saja habis. Sebagian terserap tanah dan akar pohon, sebagian lagi tersisa mengisi ruang-ruang kosong pada jalan. Rupanya masih haus Bekasi ini, tak cukup disirami air segitu. Tak heran angin yang berkunjung datangnya masih saja berdua dengan hawa panas, sang tuan rumah pun menyambut berpeluh ria. Si badan mendesak kaki mencari tempat yang lebih sejuk. Langkah demi langkah tahu-tahu mengantarkan saya sampai ke teras. Disana, tengah lebih dulu datang seekor bayi kucing dan induknya. Saya sungguh terkejut. Jika ibu tahu, ia pasti tidak akan suka. Saya harus mengeluarkan mereka. Segera!

Sang induk mendapat giliran pertama, selanjutnya si kecil. Sekujur bulunya putih bersih, terasa lembut seperti bola kapas, ringan juga hangat. Ia berontak ketika hendak saya keluarkan. Kami beradu pandang. Aduhai cantiknya.. Mata itu biru tua berkilau, seindah air laut. Seketika runtuhlah niat mengeluarkan dia, hanyut terbawa ombak ketengah samudera.

Saya pelihara diam-diam saja.
Ibu bagaimana?
Saya taruh mereka di samping rumah saja. Disembunyikan di balik rak-rak sepatu bisa kan?
Bisa! Ya, ya, pasti bisa!

Alhasil saya merawatnya diam-diam, dibantu adik saya. Apabila dirasa ada sedikit kesempatan, kami pasti menggunakannya untuk sekedar menengok atau mengajak main si putih yang belakangan ini kami namai Baby.

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, kelak akan jatuh jua.
Sepandai-pandainya si putih disembunyikan, kelak ia makin besar dan melompat-lompat jua.

Tibalah masa dimana tembok rahasia hancur lebur, ibu akhirnya tersadar! Saya dan adik membatu. Mengira-ngira celotehan apa yang akan keluar dari bibir ibu. Mengasihani nasib si putih bila hidup menggelandang. Tapi bak penyihir cantik, wajahnya yang serupa malaikat tanpa dosa itu mudah sekali mempesona orang. Ia dipersilahkan dirawat. Kian hari kian disayang. Namun kesenangan melenakannya, si putih tumbuh manja. Ia hanya mau asi induknya, tidak susu lain tidak juga belajar makan.

Tiba suatu sore, langit menggelap. Matahari mengumpat di balik awan-awan mendung, sambil mengintipi seekor anak kucing di seberang rumah saya. Ia nampak ingin turun, namun tempat yang didudukinya tersebut terlalu tinggi untuk ruas-ruas kakinya yang kecil. Bukan si putih. Ia lebih kecil. Kurus dan hitam jelek. Persis seperti cumulonimbus yang mengapung di langit kala itu.  Enggan rasanya menyentuh dia, tapi raga ini tergerak juga membantu si hitam turun. Siapa tahu ia ingin kembali kedekapan induknya. Entah bagaimana, si hitam terus mengikuti sampai ke rumah. Kututup pagar. Jika ada dua anak kucing dalam rumah, mungkin ibu malah akan membuang semuanya.

Si hitam itu tak beranjak, mengeong lirih di depan pagar. Alam ikut bersedih melihat kekerasan batin saya, tak punya belas kasih pada kucing kecil yang nampaknya tak berinduk itu. Hujanpun turun.. Bulu tipisnya kebasahan. Ia mengeong seolah menangis memohon diizinkan masuk. Mungkin maksudnya, walaupun bukan karena rasa menyukai dia, setidaknya berlembut hatilah, tolonglah ia karena rasa iba. Tuhan mengetuk pintu hati saya agar terbuka, sejalan dengan irama jemari tangan yang tergerak membukakan pintu pagar untuk si hitam. Masuklah..

Si hitam memang kucing jelek yang beruntung. Naluri ibu yang dimiliki induk si putih tak tega membiarkan ia kehausan. Ia disusui. Usaha mengembalikan si hitam pada induknya pun tak berbuah hasil. Keluarga saya, termasuk pula ibu, turut kasihan pada si hitam. Seringkali ibu saya mendapati si putih berlarian kesana kemari sedang si hitam hanya menyendiri di pojokan sudut, memandang penuh minder. Ibu saya pula, orang yang menamainya, Oi..

Suatu hari, minggatlah si putih bersama induknya ke rumah tetangga depan saya. Si hitam ini kan juga butuh disusui?! Saya berinisiatif membawanya ke induk si putih.  Ia butuh meneruskan hidup. Dan malamnya, dalam tidur saya, sayup terdengar ngeongan anak kucing. Namun suara tersebut kian melemah dan menghilang di tengah derasnya hujan.

Keesokan siangnya, saya dapati si hitam sudah kisut di tengah jalan. Seorang bocah baru saja mengangkatnya dari parit. Ya Tuhan! Bagaimana tubuh sekecil itu mampu bertahan terpelosok di parit semalaman?! Menahan dinginnya hujan yang begitu deras! Betapa besar semangat hidupmu, wahai hitam! Saya menyeka tubuh yang kuyup dan kotor itu, dagingnya sedingin es. Saat itu si hitam hanya memandang ke arah teras dimana si putih sedang berpelukan dengan induknya. Ia tidak bergabung..

Betapa naif saya, tidakkah saya berpikir bahwa induk si putih lama-kelamaan merasa keberatan ditumpangi menyusu oleh si hitam yang bukan anaknya. Si hitam sudah dimandikan air hangat, namun ia kelaparan teramat sangat. Terdesak ibu susu yang tak lagi peduli, membuat si hitam menemukan jalannya sendiri untuk terus hidup. Oi, si hitam yang umurnya mungkin belum genap sebulan, jalanpun belum becus, melahap sisa-sisa makanan bekas induk si putih. Akhirnya kami putuskan untuk menerima si hitam sebagai bagian dari keluarga kami. Merawatnya  penuh cinta kasih. Si hitam tumbuh gemuk. Bulunya lebat terurus. Kini ia bahagia. Bagaimana kelanjutan si putih? Dia telah dilepas oleh induknya. Entah dimana..

Kamis sore, 30 Januari 2014. Langit senja mulai kemerah-merahan. Tak jauh dari rumah, ibu menemukan si putih sudah terkapar mengenaskan, kurus dan berdebu. Ia dehidrasi. Hilang semua keindahan yang dulu melekat di dirinya. Ia kesulitan bersaing di dunia luar yang kejam. Kami menolong semaksimal yang kami bisa. Sesaat setelah mampu berjalan, ia pergi. Pergi mencari separuh jiwanya yang hilang. Dengan langkah tergontai, ia berharap bisa menemui induknya lagi, induk yang kini sudah memiliki anak-anak baru. Si putih telah memilih jalan hidupnya sendiri. Beberapa hari kemudian, si putih ditemukan mati di tempat tinggal induknya dulu. Dimana ia menemukan induknya sudah tak lagi di sana. Baby, si putih, telah berpulang.. Sudah kembali ke kandung tanah...

Siapapun tidak pernah tahu bagaimana Tuhan akan menggoreskan tinta takdir di atas kanvas kehidupan. Dengan warna apa Dia memulainya. Putihkah atau hitamkah. Bagi makhlukNya, tak ada kesempatan memilih terlahir lebih atau kurang. Yang utama, Tuhan selalu melihat kesungguhan hati kita menentukan arah kuas agar terbentuklah satu lukisan yang indah. Kiranya, Dia akan berbaik hati memberikan satu warna, warna keberuntungan..


[caption id="attachment_322457" align="aligncenter" width="400" caption="kiri-kanan: si putih semasa kecil dan sesaat menjelang hayat, si hitam yang kini terpelihara dengan baik."][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun