Dalam kontrak konstruksi, tidak melulu mengenai teknis perencanaan atau pelaksanaan konstruksi namun juga mengenai perihal komersial maupun non-komersial yang perlu dicermati dalam kontrak. Perihal komersial memang sangat penting karena pembiayaan merupakan sumber kehidupan jasa konstruksi, namun terlebih dahulu perlu dikenali klasula non-komersial, penunjang yang perlu dinegosiasikan kepada Pengguna Jasa atau Owner yaitu:
- Penyerahan Site
Keterlambatan penyerahan kepemilikan lahan atau site's possession dari Owner kepada Kontraktor merupakan hal yang perlu diwaspadai agar pelaksanaan pembangunan konstruksi dapat berjalan lancar. Sebelum proses ini dimulai Owner akan melakukan pemeriksaan lapangan yang dituangkan dalam Mutual Check-0, dokumen ini yang akan menjadi acuan untuk menghitung kemajuan pekerjaan selama masa pelaksanaan. Setelah Owner dan Kontraktor menyepakati MC-0 maka Pengguna Jasa akan melakukan Penyerahan Site. Penyerahan Site harus dilakukan tepat waktu oleh Owner jika tidak Kontraktor akan mengalami kerugian berupa kemunduran waktu proyek dan mengganggu keseluruhan Master Scheduled Project. Sebagai compensable and Excusable Delay, menurut Levis dan Atherley dalam buku Delay Construction (Langford : Cahner Books International, 1996), Kontraktor harus menegosiasikan hal tersebut kepada Owner sebab Kontraktor berhak atas perpanjangan waktu untuk memperbaiki Master Scheduled Project dan penambahan biaya untuk menutupi biaya sewa atau sertifikasi alat berat, biaya perpanjangan perizinan dan asuransi.
Penggantian personil Kontraktor dapat saja dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan penilaian pribadi Owner. Walaupun berdasarkan FIDIC RedBook 1999 Clause 3.4Â penggantian personil harus dilakukan dengan pemberitahuan 21 hari sebelumnya dan Kontraktor memiliki hak sanggah namun dominasi Owner sebagai pemberi pekerjaan tidak menjadikan Kontraktor memiliki posisi tawar yang seimbang. Lebih lanjut, Owner dapat saja menambahkan klausula jebakan pada kontrak konstruksi bahwa personil Kontraktor akan diganti dengan personil dari Owner sendiri dengan biaya yang dibebankan kepada Kontraktor.
Hal ini menjadi urgensi bagi Kontraktor agar Owner tidak menggunakan alasan subjektifnya untuk bertindak wenang. Kontraktor harus menegosiasikan dan memastikan bahwa alasan penggantian personil ini tidak disebabkan karena alasan subyektif tetapi lebih kepada alasan objektif seperti pelanggaran prosedur site inspection atau pelanggaran safety regulation. Hal tersebut juga dilakukan setelah pelanggaran terjadi lebih dari satu kali. Kontraktor harus menekankan kepada Owner bahwa penggantian personil akan menimbulkan penambahan waktu kerja karena adanya kekosongan sewaktu mencari personil baru serta kesempatan yang baik bagi Owner untuk membuktikan itikad baik bahwa kesempatan memperbaiki diri Kontraktor telah diberikan lebih dari satu kali.
3. Force Majeure
Force Majeure atau keadaan kahar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi. Hal ini merupakan keadaan yang harus dinegosiasikan dengan baik sebab menurut Subekti, force majeure merupakan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.Â
Dalam kontrak konstruksi, force majeure pada umunya meliputi bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, kebakaran; keadaan perang; huru-hara; pemogokan atau kerusuhan hubungan industrial; dan kebijaksanaan pemerintah. Di luar hal yang telah disebutkan diatas, hujan dan pasang surut air laut merupakan dua hal non bencana yang negosiasikan untuk melindungi Kontraktor
Curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan banjir dapat menghambat pelaksanaan pembangunan kegiatan konstruksi karena material yang bercampur dengan air hujan atau mempersulit akses alat berat atau pengiriman barang menuju lokasi kerja. Namun sebelum membawa hal ini dalam negosiasi, Kontraktor harus benar-benar memperhatikan ada tidaknya pencantuman klausula bahwa Kontraktor harus melakukan pemeriksaan kondisi site, sebagaimana diatur dalam FIDIC Redbook 1999 Clause 4.10Â bahwa "dengan mempertimbangkan biaya dan waktu maka Kontraktor dianggap telah memperoleh semua informasi, risiko, kontigensi dan keadaan lain yang dapat mempengaruhi Tender atau Pekerjaan. Pada hal yang sama Kontraktor akan dianggap telah memeriksa dan mengeksaminasi Site dengan informasi yang tersedia termasuk tetapi tidak terbatas pada bentuk dan sifat Site."
Pasang surut air laut juga merupakan hal yang akan merugikan Kontraktor jika tidak diatur karena surutnya air laut menyebabkan proses pengiriman Barang menjadi tertunda dan kontraktor  mungkin saja dituntut untuk membayar kerugian atas keterlambatan prestasi. Oleh karena itu, penambahan curah hujan dan pasang surut air laut perlu dinegosiasikan untuk ditambahkan ke dalam klausula force majeure.
4. Hukum yang Berlaku
Apabila bekerja sama dengan Owner dari luar negeri, Kontraktor harus benar-benar memahami hukum yang berlaku pada negara tersebut. Tidak harus semua hukum, namun lebih kepada hukum yang mengatur mengenai mekanisme dan kewajiban pembayaran, penyerahan Barang, dan perselisihan konstruksi.
5. Penyelesaian Perselisihan
Penyelesian non-litigasi merupakan jalan yang paling baik dalam kontrak konstruksi. Hal ini juga didukung oleh data statistik yang menyatakan penyelesaian sengketa terbesar yang ditangani Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dari tahun 2014-2018 merupakan sektor konstruksi sebesar 27,09% (Dimas Jarot Bayu, Katadata.co.id, 2019)Penyelesaian litigasi harus melalui tahap sistematika peradilan yang panjang mulai dari putusan pengadila negeri hingga kasasi Mahkamah Agung atau Peninjauan kembali jika ada dan hal tersebut membutuhkan waktu kurang lebih 5 tahun. Sementara putusan arbitrase hanya butuh waktu paling lama 180 hari. Hal ini tentu akan menguntungkan Kontraktor dari segi bisnis karena dapat menghemat biaya akomodasi dan biaya administrasi pengadilan. Â
Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan merupakan hal yang perlu dihindari, apalagi jika melalui pengadilan negara Owner yang hukum acara dan hukum materiilnya sangat berbeda dengan hukum Kontraktor (common law vs continental law). Kontraktor harus menyewa konsultan hukum dari negara tempat pengadilan dilangsungkan karena konsultan hukum negara asal yang paling memahami keberlakuan hukum acara di negera tersebut.Â
Terlebih lagi, dalam beracara di negara lain kemungkinan adanya larangan penggunaan konsultan hukum asing (konsultan hukum dari Indonesia)karena tidak terdaftar untuk beracara di pengadilan lawan sesuai dengan pernyataan Aryo Wibowo, DPP Peradi Ketua Bidang Kerjasama Internasional (Fitri N. Heriani, hukumonline.com, 2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H