Kopi pahit tanpa gula kuteguk sedikit demi sedikit. Aromanya yang khas membuat pikiranku menjadi segar kembali. Aku mengamati kopi kental di dalam cangkir ini. Baru kusadari, sebelum menjadi kopi yang nikmat, kopi ini melalui beberapa proses yang tak terlihat. Biji kopi harus dijemur, digiling, dan setelah menjadi kopi bubuk yang halus, masih harus disiram air panas sehingga terasa nikmat saat disesap.
Begitu pula dengan hidup ini. Pahit dan manis adalah sebuah pilihan. Bahagia atau tidak bahagia juga suatu pilihan. Banyak orang menggantungkan kebahagiaan pada orang lain, padahal kebahagiaan dalam hidup adalah tanggung jawab masing-masing. Bila hidup ini dianalogikan seperti meneguk secangkir kopi, mungkin aku pun tak akan begini. Â Aku akan merasakan nikmatnya hidup jika aku mau berproses seperti meneguk kopi ini. Sedikit demi sedikit.
"Masih suka ngopi di cafe ini, Â Pak?" Sebaris kalimat tanya dari suara yang amat kukenal beberapa tahun silam membuat kepala ini takut aku gerakkan. Namun, ini bagian dari proses yang harus aku hadapi. Dengan sedikit kurang yakin, aku memberanikan diri memalingkan wajah ke arah sumber suara. Masih tetap seperti dulu, paras hitam manis dengan tubuh proporsional disempurnakan oleh rambut ikal bergelombang. Dia sangat mirip dengan anak perempuanku karena dialah ibunya. Menyesal telah menceraikannya dengan alasan bahwa dia tak cukup membuatku bahagia.
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H