Seluruh penduduk membuat suara gaduh dengan memukul kentongan. Angin berhembus semakin kencang menandakan bahwa lampor akan segera datang diikuti oleh kematian.Â
Lampor ibarat setan pencabut nyawa. Berwujud seperti kabut yang akhirnya membentuk sosok badan besar dan tinggi.Â
Matanya merah dan tangannya yang besar terjulur keluar mencari sasaran. Beberapa penduduk juga mengatakan bahwa lampor merupakan isyarat akan datangnya wabah penyakit yang mematikan.
Tole hanya bisa bersembunyi di bawah meja makan. Semua pintu dan jendela rumahnya sudah dikunci rapat-rapat. Menjelang magrib, ibunya selalu berpesan untuk tidak keluar rumah karena lampor kapan saja bisa datang.Â
Dia akan membawa yang masih berkeliaran dan tidak dikembalikan.Â
Sekalipun bisa kembali, mereka akan terlihat linglung seperti kerasukan setan.
Semakin gaduh suara kentongan, semakin keras pula Tole menangis. Ibu dan adiknya yang masih kecil belum juga pulang dari melayat orang meninggal.Â
Terdengar suara pintu diketuk dan beberapa warga memanggil namanya, terdengar pula suara ibunya, "Tole...Tole...! Ayo, keluar, Nak!" Saat Tole berlari membuka pintu, Tole terkejut karena di luar rumah tidak ada siapapun.Â
Tole segera membalikkan tubuhnya berniat masuk kembali ke dalam rumah. Tole semakin terkejut karena ibunya sudah ada di belakangnya dengan masih menggendong adiknya.Â
"Sudah selesai menulis tugas mengarang cerita mitos dari ibu gurumu itu, Le?" Tole hanya mengacungkan jempol dan tersenyum puas pada ibunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H