Alunan musik bernuansa Jawa yang terdengar sayup dari sebuah radio tua selalu menjadi teman setianya. Tangannya yang keriput merapikan helaian rambut yang sudah memutih kemudian digelung dan ditusuk menggunakan konde yang sederhana. Sesederhana hati dan caranya menjalani hidup ini.
Matanya tertumbuk pandang pada jarik yang sudah disiapkan di atas kasur tipis. Sedikit gemetar tangan itu menyentuhnya. Ingatannya berlabuh pada kejadian beberapa tahun silam, saat negeri ini masih dikuasai penjajah. Keadaan yang tidak menentu memaksanya harus berpindah-pindah tempat untuk mencari perlindungan. Suara tembakan dan meriam seperti genderang yang siap berperang.
"Simpanlah jarik ini. Hanya ini yang bisa aku berikan di hari ulang tahunmu, Bu. Aku hanya mengantarkan rantang berisi masakanmu ini untuk Romo Soegija di pastoran. Beliau kan sudah waktunya makan siang toh? Malu kalau sampai terlambat. Aku pasti akan segera kembali." Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Bapak. Rantang  itu tak pernah sampai ke tangan Romo dan sampai sekarang Bapak pun tak pernah kembali ke rumah kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H